APBN 2023 Jalur Mendaki Setoran Pajak

10 October 2022

Tegar Arief
Senin, 10/10/2022

Bisnis, JAKARTA — Serangkaian tantangan mengadang langkah pemerintah untuk mendulang penerimaan pajak pada tahun depan yang cukup menjulang, yakni naik hingga 15,69% dibandingkan dengan target pada tahun ini.

Rintangan itu di antaranya lesatan inflasi yang dipastikan menekan daya beli masyarakat sehingga setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal terbatas.

Apalagi, pemerintah juga telah menaikkan tarif pajak atas konsumsi masyarakat tersebut yakni dari 10% menjadi 11% yang efektif per 1 April 2022.

Dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), penerimaan negara akan tersengat oleh prospek normalisasi harga komoditas, terutama minyak dan batu bara, pada tahun depan.

Seperti diketahui, sejak tahun lalu, komoditas menjadi juru selamat penerimaan negara sehingga kinerja pajak cukup moncer.

Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi pada tahun depan juga tidak segemilang tahun ini sehingga memengaruhi eksistensi bisnis dan bermuara pada terhambatnya setoran pajak korporasi.

Kalangan pelaku usaha pun menyempitkan pandangan pajak pada tahun depan. Terlebih, kondisi ketidakpastian global makin tinggi sehingga berdampak pada geliat ekonomi di dalam negeri.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, mengatakan tidak berulangnya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) juga memburamkan teropong pajak tahun depan.

“Tidak ada lagi privilese pemerintah seperti tahun ini, yakni kenaikan tarif PPN dan PPS, sehingga target penerimaan pajak 2023 menghadapi tantangan,” katanya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Ajib menambahkan, pemerintah harus fokus dengan intensifikasi dan ekstensifikasi yang terukur agar target pada tahun depan bisa tercapai.

Menurutnya, intensifikasi perlu digenjot melalui optimalisasi wajib pajak peserta PPS sehingga harta yang diungkap lebih produktif dan memberikan efek terhadap penerimaan negara untuk jangka panjang.

Adapun, dari sisi ekstensifikasi perlu dilakukan dengan menambah jumlah wajib pajak. Kuncinya, kata Ajib, ada pada basis data database dan sistem informasi yang dimiliki oleh otoritas pajak.

“Sistem pajak harus bisa menjaring lebih banyak wajib pajak dan menciptakan level playing field yang sama di antara pelaku usaha dan masyarakat,” ujarnya.

Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, target penerimaan pajak pada tahun depan ditetapkan senilai Rp1.718,03 triliun, naik 15,69% dibandingkan dengan target tahun ini.

Sementara itu, angka sasaran penerimaan pajak pada tahun ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 tentang Perubahan Atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022 adalah Rp1.484,96 triliun.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa pemerintah sejatinya menyadari bahwa tekanan ekonomi pada tahun depan cukup berat.

Hal itu tecermin dalam target pajak dalam APBN 2023 yang hanya naik 6,83% dibandingkan dengan outlook setoran pajak pada tahun ini senilai Rp1.608,1 triliun.

Dengan demikian, berkaca pada pertumbuhan target pada tahun depan dibandingkan dengan outlook pada tahun ini, pemerintah pun telah mengantisipasi adanya risiko ekonomi yang mengintai.

“Hambatan lebih banyak dari sisi makroekonomi, kita tahun tahun depan ada risiko resesi di beberapa negara,” ujar Fajry.

Dia menambahkan, ada beberapa strategi yang patut dilakukan untuk mengejar setoran. Pertama, menuntaskan aturan turunan dari UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kedua, mengoptimalisasi pertukaran data dengan yurisdiksi lain dengan memanfaatkan Asia Initiative Declaration (Bali Declaration) yang mendorong transparansi secara global sehingga dapat mencegah praktik penghindaran pajak.

Ketiga, implementasi sistem inti perpajakan atau core tax system yang akan membantu otoritas pajak dalam mendulang penerimaan.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto, memandang faktor penghambat pencapaian target adalah ketika dampak resesi global menimpa konsumsi dalam negeri, sehingga menekan geliat dunia usaha.

Di sisi lain, pemerintah berupaya untuk melakukan transisi tumpuan penerimaan negara dari yang sebelumnya mengandalkan PPh menjadi bersandar pada PPN.

Prianto menambahkan, dalam rangka mengamankan potensi penerimaan pada tahun depan, pemerintah perlu merumuskan insentif untuk menjaga daya tahan dunia usaha serta kemampuan konsumsi masyarakat.

“Dengan demikian PPN tetap menjadi sumber penerimaan pajak di masa mendatang, termasuk di saat kondisi resesi berlangsung,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan prospek penerimaan pajak memang menghadapi rintangan yang bersumber dari menurunnya harga komodtas serta perlambatan ekonomi global. “Ini pasti akan memberikan dampak ke dalam negeri dan memengaruhi penerimaan pajak,” katanya.

Menkeu menambahkan bahwa tren normalisasi penerimaan pajak akan berlanjut hingga pengujung tahun ini. Bahkan, ada potensi setoran pajak pada akhir tahun melandai.

Hal ini disebabkan oleh basis penerimaan pada pengujung tahun lalu yang tinggi akibat lesatan harga komoditas. Sebaliknya, pada sisa tahun ini prospek komoditas tak lagi secerah tahun lalu.

“Berbagai indikator perlu kita waspadai karena tren penerimaan pajak yang tinggi harus kita lihat ketahanannya,” kata Sri Mulyani.

Editor : Akhirul Anwar