OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA Rezim Pajak Final Tak Lagi Ideal
10 February 2023
Bisnis – Janji untuk mengakhiri rezim Pajak Penghasilan Final tak terbukti, meskipun skema itu telah mencederai kinerja ekonomi nasional sejak bertahun-tahun silam. Tak terkecuali sepanjang tahun ketiga hawar virus Corona. Pemerintah pun perlu mendesain ulang skema pajak agar penerimaan negara lebih optimal.
Pajak Penghasilan (PPh) Final yang berlaku untuk sejumlah sektor usaha di Tanah Air nyatanya justru merugikan pemerintah yang butuh banyak setoran untuk memulihkan ekonomi.
Hal ini tecermin dari tidak seimbangnya kontribusi beberapa lini bisnis terhadap produk domestik bruto (PDB) dan terhadap penerimaan pajak. Ada tiga sektor yang cukup mencolok.
Pertama konstruksi dan real estat. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun lalu konstruksi berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi hingga 9,77%, sementara real estat 2,49%.
Sayangnya, sumbangsih keduanya pada penerimaan pajak amat cekak, yakni 4,1%. Celakanlya penerimaan pajak konstruksi dan real estat pada tahun justru turun 13,5%.
Kedua pertanian. Sektor ini tergolong sebagai salah satu tulang punggung PDB nasional, yang pada tahun lalu menyumbang hingga 12,4%.
Akan tetapi, pertanian bukan termasuk sektor yang memiliki peran dalam mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara dari pajak. Sektor ini bahkan tak tercakup dalam delapan sektor utama penyumbang pajak.
“PPh Final untuk sektor real estate dan konstruksi harusnya sudah tak lagi relevan,” kritik Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, kepada Bisnis, Rabu (8/2).
Sesungguhnya, otoritas fiskal menyadari bahwa Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk beberapa sektor usaha tak lagi diperlukan.
Bisnis mencatat, sejak 3 tahun terakhir Kementerian Keuangan berjanji untuk melakukan evaluasi atas rezim PPh Final.
Alasannya, aktivitas usaha yang menerima fasilitas ini telah berlangsung secara solid, serta dalam rangka mengamankan potensi penerimaan negara. Namun, hingga detik ini PPh Final untuk usaha-usaha tertentu masih saja berlaku.
Dalam konteks ini, Fajry menyarankan kepada pemerintah untuk lebih cermat dalam menyusun dan menerapkan skema pajak. Menurutnya, konstruksi dan real estat tak lagi layak mendapatkan fasilitas tersebut.
Akan tetapi, khusus untuk pertanian memang masih menyisakan perdebatan. Musababnya, pertanian atau perkebunan di Tanah Air mayoritas diisi oleh usaha rakya atau bukan industri.
Secara regulasi, usaha yang teramat kecil ini pun tak bisa dipajaki. Selain itu, banyak bisnis pertanian rumahan yang belum masuk ke dalam radar pajak karena lingkup yang terlampau kecil.
“Kalau dipaksakan sekalipun dengan mengubah regulasi sulit implementasinya. Bisa-bisa biaya administrasinya lebih besar dibandingkan potensi penerimaannya,” jelasnya.
Sependapatm Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, menilai perlakuan khusus memang perlu diberikan untuk sektor pertanian.
Apalagi, objek transaksi berkaitan erat dengan kebutuhan pokok sehingga pemerintah tetap perlu memberikan fasilitas pajak di sektor ini.
“Barang kebutuhan pokok menjadi objek pajak yang PPN dibebaskan,” katanya.
KRITIK
Rezim PPh Final pun sebenarnya telah banyak dikritik. World Bank pada 2020 merilis laporan tentang skema dan pengenaan tarif pajak final untuk sektor konstruksi dan real estat di Indonesia.
Lembaga itu mencatat, mengembalikan rezim ke PPh Badan yang berlaku umum akan meningkatkan transparansi dan memastikan peningkatan ekuitas horizontal lintas sektor.
Sementara itu, Kementerian Keuangan juga menyadari adanya risiko penggerusan penerimaan pajak dari pemberlakuan PPh Final, sehingga dibutuhkan evaluasi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis dari internal Kementerian Keuangan, saat ini kajian tersebut tengah dituntaskan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
BKF pernah mengungkapkan bahwa dasar dari evaluasi itu adalah adanya under tax karena kebijakan exemption dan rezim pajak final untuk beberapa sektor sehingga kontribusinya ke penerimaan pajak tidak sejalan dengan besarnya sumbangsih terhadap PDB.
Dalam kaitan kinerja ekonomi 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Laju pertumbuhan positif juga tercatat di seluruh sektor lapangan usaha sepanjang tahun lalu.
Menurutnya, kinerja sektoral tersebut linier dengan performa penerimaan pajak yang sepanjang tahun lalu juga cukup akseleratif.
Berkaca pada kondisi tersebut, Menkeu optimistis pertumbuhan ekonomi pada 2023 tetap kuat meskipun dihadapkan pada prospek melambatnya perekonomian global.
Laju pemulihan yang sangat kuat di tahun 2022 menjadi pijakan yang kokoh bagi perekonomian nasional untuk menghadapi tantangan jangka pendek sekaligus untuk melanjutkan agenda pembangunan jangka menengah-panjang.
“Indikator perekonomian terkini juga terus menunjukkan tren ekspansif, termasuk indeks PMI manufaktur Indonesia yang pada Januari 2023 meningkat cukup signifikan,” katanya.
Kendati optimistis pemerintah tetap akan terus memantau risiko perekonomian dunia saat ini. Risiko ketidakpastian masih cukup tinggi, meskipun risiko perlambatan ekonomi dunia diindikasikan mulai melunak.
Keberlanjutan agenda reformasi struktural untuk mempercepat transformasi ekonomi akan terus dijaga guna memperkokoh struktur dan akselerasi kinerja ekonomi nasional.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 menurut Sri Mulyani juga telah dipersiapkan agar senantiasa waspada namun optimis kepada potensi perekonomian ke depan.
“Kesehatan fiskal tetap menjadi perhatian penting agar mampu secara cepat dan tepat dalam menyasar isu-isu kritikal, termasuk dalam pengendalian inflasi,” ujarnya.
Editor : Tegar Arief