INDIKATOR PENERIMAAN PAJAK Era Normalisasi Elastisitas Pajak
06 July 2023
Tegar Arief
Kamis, 06/07/2023
Bisnis – Peralihan dari pandemi menuju endemi nyatanya tak hanya memberikan kabar baik bagi masa depan ekonomi nasional. Pada saat yang sama, situasi ini pun akan menurunkan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi alias tax buoyancy.
Tax buoyancy adalah skema perpajakan yang difungsikan untuk menakar elastisitas antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB).
Secara historis, rata-rata level tax buoyancy di Tanah Air berada pada kisaran 0,8. Artinya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional, penerimaan pajak hanya naik sebesar 0,8%. Dengan demikian, dalam kondisi ekonomi normal setoran pajak tidak elastis.
Kabar sedap sempat mencuat ketika pemerintah berhasil mencatatkan tax buoyancy jauh lebih tinggi dari angka historis, yakni sebesar 2,04 pada 2021 dan 2,08 pada tahun lalu.
Akan tetapi, tingginya elastisitas penerimaan pajak pada periode krisis adalah sesuatu yang normal. Tak hanya di Indonesia, kondisi serupa juga dialami oleh banyak negara.
Musababnya, ketika krisis, ekonomi dipastikan melemah sehingga mengakibatkan terjadinya kontraksi penerimaan pajak. Di sisi lain, pemerintah pun memberikan banyak relaksasi atau insentif pajak sebagai respons dari dinamika krisis itu.
Tak pelak, penurunan penerimaan pajak selama pandemi Covid-19 jauh lebih parah dibandingkan dengan penggerusan produk domestik bruto (PDB).
Adapun, tahun ini diasumsikan ekonomi sepenuhnya membaik dan insentif pun jauh lebih irit apabila disandingkan dengan kondisi pada 3 tahun terakhir.
Hal ini pun dicermati betul oleh pemangku kebijakan yang sangat pesimistis mampu mengulang keberhasilan 2 tahun terakhir dalam kaitan tax buoyancy.
Bisnis mencatat, otoritas fiskal menghitung proyeksi tax buoyancy pada tahun ini pun hanya berkutat di bawah 1 alias kembali ke fase normal.
Elastisitas yang kian terbatas inilah menjadi biang kerok pada sulitnya mengerek rasio pajak alias tax ratio yang pada tahun ini ditargetkan sebesar 9,61%. Pasalnya, pertumbuhan penerimaan pajak jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan idealnya ketika ekonomi berada di kondisi krisis, tertekan, atau dalam masa pemulihan seperti 2020—2022, tax buoyancy tidak terlalu tinggi.
“Tax buoyancy yang tinggi pada saat ekonomi normal menunjukkan hal bagus. Akan tetapi, jika tax buoyancy tinggi saat krisis, kondisi demikian tidak selalu mencerminkan fiskal yang bagus,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (5/7).
Sesungguhnya, tax buoyancy sangatlah penting dalam rangka mewujudkan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan seiring dengan tumbuhnya ekonomi.
Kondisi tersebut memiliki kaitan erat dengan relatif tingginya shadow economy dan belum maksimalnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
Sementara itu, faktor yang juga menjadi akar persoalan dari terbatasnya elastisitas penerimaan pajak adalah adanya mismatch antara sektor yang mencatatkan pertumbuhan PDB tinggi dengan sektor yang penerimaan pajaknya tinggi.
Artinya, pertumbuhan PDB dari sektor-sektor yang kontribusi penerimaan pajaknya tinggi mencatatkan penurunan kinerja dalam kontribusinya ke PDB.
Misalnya, sektor pertanian yang memiliki kontribusi relatif besar bagi PDB, penerimaan pajaknya relatif kecil karena upah tenaga kerja sektor yang berada di bawah bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan cenderung lekat dengan shadow economy.
Pemerintah pun berulangkali menyampaikan bahwa seyogianya pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan perpajakan memiliki hubungan kuat, yang ditunjukkan melalui indikator tax buoyancy.
Artinya, nominal pertumbuhan ekonomi harus identik dengan pertumbuhan penerimaan pajak. Apalagi, tax buoyancy merefleksikan adanya potensi untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan dari kegiatan ekonomi.
DIVERGENSI PEMULIHAN
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, mengatakan pada tahun ini pemulihan penerimaan pajak tidak terjadi secara merata di seluruh sektor.
Mayoritas lini usaha pun justru mencatatkan penurunan pertumbuhan penerimaan yang dipicu oleh normalisasi harga komoditas sumber daya alam (SDA).
“Solusinya dari sisi pendapatan harus menggali sumber penerimaan baru termasuk pajak karbon hingga perluasan cukai,” ujarnya.
Kementerian Keuangan dalam laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pada tahun ini terjadi moderasi penerimaan pajak karena beberapa faktor.
Pertama, tidak adanya kebijakan berulang seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Kedua, tingginya fluktuasi di sektor konsumsi yang memengaruhi setoran PPN.
Ketiga, belanja pemerintah yang sejauh ini masih cekak.
Keempat, terbatasnya aktivitas impor yang memiliki efek besar pada aktivitas industri atau manufaktur sehingga berimbas pada terbatasnya PPN Impor dan PPh Badan.
Kelima, harga komoditas.
Aneka faktor pemberat itu bakal makin menyulitkan pemerintah untuk mengejar target rasio pajak.
Celakanya, otoritas pajak pun masih amat mengandalkan sektor itu-itu saja yang sejatinya masih rentan, baik pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN).
“Yang jadi penopang, yaitu PPh pasal 21, PPh badan, serta PPN dalam negeri dan PPN impor,” kata Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, belum lama ini.
Pemangku kebijakan boleh berbangga lantaran berhasil membawa ekonomi mengarungi lautan pandemi yang penuh dengan gelombang.
Namun, tugas di sektor pajak masih belum tuntas. Selanjutnya, pekerjaan terberat adalah melinierkan pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan pajak untuk mengokohkan fiskal negara.
Editor : Sri Mas Sari