PERUBAHAN SKEMA PAJAK, Menyoal Daya Pungut PPN

14 June 2021

BisnisIndonesia, Senin, 14/06/2021 02:00 WIB
Rencana kenaikan skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari tarif tunggal 10% ke tarif umum 12%
menjadi jalan pintas yang ditempuh pemerintah untuk mengerek penerimaan. Terlebih, selama ini
performa pungutan dari pajak konsumsi kurang prima.
Hal itu tecermin dari value added tax (VAT) gross collection ratio yang terpantau cukup rendah pada
tahun lalu, yakni 50,38%. Artinya, otoritas fiskal hanya mampu mengutip 50,38% pajak dari potensi yang
ada.
Pada tahun lalu, total penerimaan PPN tercatat Rp448,4 triliun. Dengan produk domestik bruto (PDB)
nominal senilai Rp15.434,2 triliun, maka VAT ratio tercatat 2,90%, jauh di bawah realisasi tahun
sebelumnya yang mencapai 3,36%.
Adapun konsumsi rumah tangga pada tahun lalu tercatat Rp8.900 triliun. Dengan demikian, VAT gross
collection ratio pada 2020 hanya 50,38%. Artinya, pemerintah hanya berhasil memungut PPN sebesar
50,38% dari potensi yang ada.
Realisasi pada tahun lalu itu juga jauh di bawah capaian pada tahun sebelumnya, di mana VAT gross
collction ratio sebesar 59,43%.
Angka tersebut juga didukung oleh data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang mencatat daya pungut
pemerintah terhadap PPN masih sangat terbatas.
Pada 2018, C-Efficiency PPN di Indonesia sebesar 0,59. Artinya Indonesia dapat mengumpulkan sebesar
59% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
“Kinerja PPN Indonesia masih di bawah Thailand dan Singapura,” tulis laporan Ditjen Pajak yang dikutip
Bisnis, Minggu (13/6).
Bisnis mencatat, sejumlah faktor yang menghambat pungutan PPN di antaranya banyaknya fasilitas
pembebasan yang diberikan pemerintah, dan adanya peralihan pola konsumsi masyarakat dari yang
sebelumnya dilakukan secara luring menjadi daring.
Kemudian minimnya perusahaan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang menjadi
wajib pungut, dan threshold atau batasan omzet pengusaha kena pajak (PKP) yang terlalu tinggi, yakni
Rp4,8 miliar per tahun.
Alih-alih memperbaiki hambatan itu, otoritas fiskal justru berencana mengambil jalan pintas yang
kurang populis, yakni menaikkan tarif. Jika tak ada aral melintang, seluruh produk dan jasa konsumsi
akan menjadi barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP).Hal yang mengagetkan publik adalah dijadikannya kebutuhan pokok dan jasa pendidikan sebagai BKP da
JKP. Sontak publik marah dan meminta pemerintah untuk menganulir substansi yang termuat di dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) itu.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan, keagamaan, bahkan legislator dan senator yang ada di Senayan
menolak usulan itu. Namun, pemerintah bergeming.
Kementerian Keuangan tetap akan mengimplementasikan rencana tersebut. Staf Khusus Menteri
Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pemberlakuan kebijakan PPN
yang baru dilakukan setelah kondisi ekonomi pulih dari pandemi.
Dia menjelaskan, saat ini ada 15 negara menggunakan instrumen PPN dalam merespons Covid-19 untuk
mengoptimalisasi peneriman sebagai bagian dari pergeseran kebijakan.
Akan tetapi untuk saat ini pemerintah tidak akan melakukannya karena kondisi ekonomi domestik yang
sulit. Meski begitu, ke depan perbaikan pungutan dengan mengubah struktur penerimaan dari Pajak
Penghasilan (PPh) Badan ke PPN bakal dilakukan.
“Pemerintah berkomitmen melakukan penyesuaian tidak akan terjadi di masa pandemi, tunggu saat
ekonomi pulih. Sekarang kita siapkan semuanya,” katanya.
Pemerintah memang memiliki tanggung jawab besar untuk menyehatkan fiskal setelah bekerja ekstra
keras selama pandemi Covid-19.
Namun bukan berarti hal itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Otoritas fiskal bisa melakukan
pembenahan sehingga kemampuan dalam memungut PPN lebih meningkat.
Mengubah skema dan membabat habis barang atau jasa konsumsi menjadi BKP atau JKP bukan solusi
populis. Di balik opsi itu, ada konsekuensi besar yang harus dihadapi, baik secara sosial maupun politik