Ancaman Retaliasi AS Hambat Indonesia Pungut Pajak Google Hingga Netflix
03 October 2025
Jumat, 03 Oktober 2025
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk memajaki penghasilan dari ekonomi digital, terutama penghasilan platform multinasional seperti Google dan Netflix.
Hal ini berkaitan dengan konsep Pilar Satu dalam kerangka kerja OECD yang bertujuan merealokasi laba ke negara pasar.
Analis Senior Kebijakan Fiskal Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Melani Dewi Astuti menjelaskan, Pilar Satu akan mengenakan pajak atas 25% dari laba redisual di atas 10% laba, namun hanya berlaku bagi perusahaan multinasional dengan omzet global minimal Rp 325 triliun.
Melani mengatakan bahwa penerapan Pilar Satu belum berlaku karena membutuhkan kesepakatan konvensi multileral, di mana Amerika Serikat (AS) masih belum menandatangani kesepakatan ini.
Padahal, AS mewakili 46% wajib pajak yang tercakup. Ia menjelaskan, syarat berlaku Pilar Satu adalah minimal 30 negara menandatangani, mewakili 40% Ultimate Parent Entity (UPE), namun AS sendiri memiliki 48% UPE. Tanpa AS, mekanisme ini tidak bisa berlaku.
Akibatnya, Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk mengenakan pajak atas penghasilan Platform Metaverse dan e-commerce (PMSE) luar negeri, baik melalui PPh maupun bentuk pajak lain seperti Digital Services Tax (DST).
“Maka Pilar Satu ini sampai sekarang belum diterapkan. Jadi sampai sekarang Indonesia tidak punya dasar hukum mengenakan pajak atas penghasilan PMSE luar negeri dari konsumen di Indonesia,” ujar Melani dalam acara Taxplore UI 2025, Kamis (2/10/2025).
Melani mencatat bahwa sejumlah negara lain sudah menerapkan DST dengan tarif rata-rata 1,5% hingga 7,5%, mayoritas di angka 3%. Namun penerapan DST dihadapkan risiko retaliasi dari AS.
India misalnya, menghentikan penerapan equalization levy sejak 1 Januari 2025 karena ancaman retaliasi. Kanada juga menunda penerapan DST yang seharusnya berlaku sejak 1 Januari 2024 karena ancaman tarif besar dari AS.
Melani menegaskan bahwa kondisi ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam memajaki ekonomi digital.
“Maka Indonesia juga punya tantangan ini. Karena kalau Indonesia menerapkan berarti Indonesia terancam kena retaliasi. Sementara neraca perdagangan Indonesia dengan AS itu surplus,” pungkasnya.