DENDA PIDANA PAJAK, Mekanisme Penagihan Masih Lemah

07 July 2021

BisnisIndonesia, Rabu, 07/07/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah disarankan memperkuat mekanisme penagihan denda pidana pajak sebagai langkah untuk memulihkan kerugian negara. Pasalnya selama ini eksekusi denda atas tindak pidana pajak terhambat oleh terbatasnya kewenangan dari petugas pajak.n

Dalam Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah hanya menekankan kerja sama penagihan antaryurisdiksi. (Bisnis, 6/7).

Sementara itu, sejauh ini otoritas fiskal belum memiliki instrumen hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi piutang atas denda pidana pajak di dalam negeri.

Faktanya, UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6/1983 menyatakan bahwa denda atas penyalahgunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terancam sanksi denda 200% hingga 400% atau 2 kali hingga 4 kali jumlah restitusi yang dimohonkan di luar pidana penjara.

Persoalannya, kejaksaan hanya bisa melakukan eksekusi atas pidana penjara terhadap wajib pajak yang melanggar tersebut. Adapun mengenai denda sejauh ini belum mampu terpungut secara maksimal.

Mantan Dirjen Pajak sekaligus Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI) Anshari Ritonga mengatakan UU KUP eksis belum mengantisipasi ketidakpatuhan pembayaran wajib pajak atas denda tersebut.

“Saya saran diberlakukan bahwa terhadap putusan pidana pajak yang sudah berkekuatan tetap bisa dieksekusi oleh kejaksaan,” kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR, Selasa (6/7).

Dia menyarankan kepada pemerintah dan DPR untuk melegalisasi eksekusi denda tersebut di dalam RUU KUP dengan mengacu pada UU No. 19/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 19/1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Menurutnya, eksekusi itu bisa dilakukan dengan menggunakan dasar Surat Paksa yang ada di dalam UU No. 19/2000.

“Sejauh ini kejaksaan hanya bisa mengeksekusi dari sisi pidananya saja, dendanya belum. Kalau wajib pajak tidak bayar tidak ada sarananya,” kata dia.

Anshari menambahkan, semangat pemerintah untuk mengembalikan kerugian negara akibat pelanggaran pajak melalui penagihan memang cukup solutif.

Namun hendaknya penagihan itu tidak hanya dilakukan terhadap piutang pajak yang ada di negara atau yurisdiksi mitra, melainkan juga di dalam negeri.

Jika eksekusi denda dilakukan, maka pemerintah memiliki tambahan penerimaan yang cukup signifikan serta mampu memberikan efek jera kepada wajib pajak yang nakal.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mengatakan prinsip pidana pajak adalah prinsip hukum yang paling akhir. Artinya, hukuman pidana pajak tidak diterapkan seberat hukum pidana lain dengan dasar untuk memberikan pembelajaran dari sisi kepatuhan.

Pasalnya selain sanksi pidana penjara, wajib pajak pelanggar juga dikenai sanksi denda. Namun demikian pembayaran sanksi denda oleh wajib pajak tidak serta-merta menghapus sanksi pidana penjara yang dijatuhkan.

“Kalau sudah membayar pajak kemudian dibebaskan, ini menjadi prinsip yang kurang mengena dari sisi pidananya,” kata dia dalam rapat tersebut.

Berdasarkan data pemerintah yang tertuang di dalam Naskah Akademik RUU KUP, pidana denda hasil penuntutan yang dibayar terpidana pada 2018—2020 masih terbatas.

SANGAT KECIL

Denda hasil penuntutan yang dibayar terpidana dari pidana denda nonsubsider masih sangat kecil yaitu rata-rata hanya sebesar 0,26% dari total denda nonsubsider dalam putusan.

“Hal ini mengakibatkan pemulihan kerugian pada pendapatan negara menjadi tidak optimal,” tulis pemerintah dalam Naskah Akademik RUU KUP yang dikutip Bisnis.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya pembayaran pidana denda.

Pertama pembayaran kerugian pada pendapatan negara dan/atau sanksi pada saat persidangan atau perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, tidak membatalkan tuntutan jaksa.

Kedua pidana denda disubsider dengan pidana kurungan karena hakim mempertimbangkan Pasal 30 ayat (2) KUHP bahwa jika pidana denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan.

Ketiga hasil eksekusi jaksa terhadap putusan pidana denda tidak signifikan.

Keempat wajib pajak cenderung tidak memanfaatkan ultimum remedium pada tahap penyidikan dengan pertimbangan bahwa pidana denda dapat disubsider atau pidana denda dapat tidak dieksekusi oleh jaksa.

Kelima tidak ada efek jera bagi pelaku dan efek gentar bagi calon pelaku karena mereka hanya akan menjalani hukuman badan saja (pidana penjara dan pidana kurungan) tanpa harus melunasi pidana denda.

Keenam penyidik pajak tidak memiliki wewenang penyitaan harta kekayaan dan penangkapan dan/atau penahanan yang dapat mendorong wajib pajak memanfaatkan ultimum remedium.

Ketujuh penyidik pajak tidak memiliki kewenangan penangkapan dan/atau penahanan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka permintaan bantuan ke aparat penegak hukum lainnya berdasarkan Pasal 44 ayat (4) UU KUP memiliki risiko hukum.

Kedelapan ada kebutuhan kewenangan penangkapan dan/atau penahanan karena untuk mencegah pelaku tindak pidana dari memengaruhi tersangka atau saksi lain serta ketika ada risiko melarikan diri oleh tersangka, atau mencurigai, atau untuk menahan pelaku tindak pidana, untuk mencegah mereka melakukan tindak pidana tambahan.

Kesembilan menggunakan pendekatan analisis biaya dan manfaat, di mana biaya yang bisa dihitung lebih besar dari manfaat berupa pemulihan kerugian pada pendapatan negara.