KEBIJAKAN PERPAJAKAN Dilema Pajak Natura
06 July 2023
Tegar Arief
Kamis, 06/07/2023
Bisnis – Lagi-lagi instrumen pajak dioptimalkan untuk mendulang penerimaan dan menopang konsolidasi fiskal. Terkini, mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) 21 yang dijadikan senjata pemangku kebijakan untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 66/2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan, pemerintah membuka peluang menghimpun pajak lebih gemuk.
Memang, substansi soal pajak natura telah termaktub dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Namun, PMK No. 66/2023 menjadi aturan teknis yang ditunggu karena menyajikan instrumen pengecualian.
Tentu beleid yang diundangkan 27 Juni 2023 ini akan mengatrol setoran PPh karyawan menyusul basis penghitungan pajak yang lebih besar karena menjumlahkan gaji dan nilai natura yang diterima dengan tarif PPh 21 di rentang 5%—35%.
Akan tetapi, tak bisa dimungkiri skema pemajakan ini akan memengaruhi daya beli dan konsumsi yang selama ini menjadi pemantik utama mesin ekonomi.
Meski sasaran utama dari pajak natura adalah karyawan kelas menengah ke atas, bertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar sedikit banyak bakal berimbas pada pola konsumsi.
Pemangku kebijakan pun menyadari betul risiko itu. Apalagi, pada tahun ini ekonomi masih dihadapkan pada ketidakpastian global yang merongrong laju produk domestik bruto (PDB).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, mengatakan penerapan pajak natura memperhatikan nilai kepantasan.
“Sehingga, natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan nilai tertentu dikecualikan dari objek PPh,” katanya, Rabu (5/7).
Dwi menjelaskan, ada beberapa indikator yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan itu.
Antara lain, Indeks Harga Beli Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Survei Standar Biaya Hidup Badan Pusat Statistik (BPS), Standar Biaya Masukan Kementerian Keuangan, Sport Development Index Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta benchmark beberapa negara.
Pascaditerbitkannya aturan ini, perusahaan wajib melakukan pemotongan PPh atas kenikmatan per 1 Juli 2023. Adapun, pemberian natura pada 2022 dikecualikan, sedangkan pemberian natura periode Januari—Juni 2023 wajib dihitung dan dibayar serta dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) 2023.
Pemerintah pada tahun ini memang berada pada fase krusial, mengingat adanya kewajiban konsolidasi fiskal yang mengamanatkan defisit di bawah 3% terhadap PDB.
TARGET DEFISIT
Manuver terus dilakukan untuk menggali penerimaan demi menjaga target defisit di angka 2,84%. Sasaran ini wajib dikompensasi dengan penerimaan yang tinggi.
Sementara itu, Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) dalam laporan terbaru memperkirakan defisit fiskal 2023 kembali turun menjadi 2,3% dari PDB, didukung tingginya penerimaan dan terkendalinya belanja.
Defisit fiskal yang menurun diyakini mengurangi utang dan beban bunga. Namun, S&P mengingatkan pemerintah untuk mencermati terbatasnya basis penerimaan.
Ancaman itu bukannya tanpa alasan. Apabila pajak terus ditarik dengan agresif dan menyasar masyarakat, dana publik untuk aktivitas konsumsi pun lebih terbatas.
Dalam kaitan ini, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, menegaskan otoritas moneter akan terus mendukung pertumbuhan ekonomi dan meredam dampak gejolak dan dinamika keuangan dunia terhadap perekonomian.
BI juga terus mencermati dinamika ekonomi global, serta merumuskan dan melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Termasuk penyesuaian stance kebijakan, dan memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Perry.
Sementara itu, kalangan pemerhati pajak menilai kebijakan ini otomatis mengerek penerimaan. Namun, ada beberapa kendala yang berisiko menjadi pengganjal.
Di antaranya dari sisi administrasi, efektivitas mekanisme self assessment, dan penggerusan ekonomi.
Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji, mengatakan luasnya cakupan objek PPh menjadi tantangan, terlebih model pemberian natura tiap pemberi kerja bervariasi.
Selain itu, UU HPP dan PP No. 55/2022 mengamanatkan implementasi pajak natura sejak 2022 melalui mekanisme self assessment. Namun, PMK No. 66/2023 mengecualikan natura yang diberikan pada tahun lalu.
“Lantas, bagaimana perlakuan PPh natura yang telah disetor dan dilaporkan dalam SPT 2022? Ada isu administrasi yang perlu diperjelas,” ujarnya.
Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menambahkan penggalian potensi yang menyasar karyawan memiliki konsekuensi berat.
Menurutnya, pemerintah perlu mengoptimalisasi pajak progresif dengan menyasar wajib pajak nonkaryawan yang memiliki daya beli lebih kuat.
“Ini berdampak pada daya beli. Kenaikan harusnya pada pajak progresif, jadi yang menanggung orang berpendapatan besar,” katanya. (Dionisio Damara/Annasa Rizki Kamalina/Maria Elena)
Editor : Tegar Arief