Optimalisasi Setoran Pajak melalui Review Tax Treaty

28 November 2019

Bisnis.com 28 November 2019  |  10:38 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – Optimalisasi penerimaan pajak terus dilakukan. Salah satunya, pemerintah tengah me-review pelaksanaan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan perjanjian perdagangan bebas atau FTA karena berpotensi menggerus penerimaan pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa banyaknya pelaksanaan double taxation agreement dan FTA membuat wajib pajak mendapatkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif normal misalnya normalnya 20% menjadi 5%.

Di satu sisi, karena P3B maupun FTA yang sifatnya mengikat, otoritas tak mampu berbuat banyak misalnya untuk mengecek apakah skema FTA atau P3B yang dilakukan oleh WP sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

“Kita tak lagi bisa ngutek-utek [mengkajinya], makanya perjanjian internasional yang sudah kami tandatangani dulu, harus menjadi hal yang kita review lagi,” kata Sri Mulyani kepada Bisnis, pekan lalu.

Dalam catatan Bisnis.com, saat ini ototiritas pajak telah menandatangani 66 perjanjian pajak dengan negara lain. Tujuan pelaksanaan P3B untuk menghindari pengenaan pajak berganda.

Namun demikian, dalam praktinya P3B justru dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak melalui skema treaty shoppingTreaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subyek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut.

Dalam penjelasan di laman resminya, otoritas pajak menyebutkan Treaty Shopping merupakan sebuah upaya penyalahgunaan P3B (treaty abuse) karena karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty.

Kendati demikian, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol memastikan  bahwa tujuan dibentuknya suatu tax treaty atau P3B adalah untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation) dan memerangi praktek penghindaran dan pengelakan pajak (tax avoidance and evasion).

“Kedua tujuan tersebut merupakan spirit tax treaty,” ungkapnya.

Sebelum munculnya Omnibus Law Perpajakan niat mereview tax treaty telah diungkapkan pemerintah beberapa waktu lalu. Salah satu substansi yang akan diatur yakni terkait skema tarif withholding tax misalnya soal besaran tarif pajak bagi dividen.

Pajak bunga, dividen maupun royalti diatur dalam PPh Pasal 26. PPh pasal 26 adalah PPh yang dipotong atas penghasilan uang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) bisa berupa bunga, royalti, atau dividen.

Pemotong PPh ini bisa berasal dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, hingga perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia. Tarif yang berlaku normal sebanyak 20% tetapi dengan implementasi P3B tarif potongan pajak bisa berada pada kisaran 10%.

LEBIH DARI 1 KALI

Sementara itu Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengungkapkan dalam konteks globalisasi dan cross border investment terdapat kemungkinan bahwa untuk penghasilan yang sama akan dikenakan pajak lebih dari 1x (double taxation).

“Ini dikarenakan masing-masing negara punya kedaulatan pajaknya masing-masing dan sistem pajak yang berbeda-beda,” imbuhnya.

Dalam rangka mencegah double tax maka dibentuklah P3B yang pada dasarnya berupaya untuk mengalokasikan hak pemajakan antara dua negara yang terlibat dalam P3B tersebut. Selain itu pada umumnya dalam P3B juga ada fitur pengurangan tarif (reduced ratewithholding tax misalkan dari 15% menjadi 10%.

Bawono menyebut pada awalnya banyak negara berkembang -termasuk Indonesia- membuat jaringan P3B yang banyak. Alasannya lebih kepada sinyal bahwa negara mereka tunduk dengan prinsip internasional, pro terhadap kegiatan usaha, serta mengurangi hambatan cross border transaction. 

“Banyak kalangan juga beranggapan bahwa P3B bisa menarik investasi. Maka sejak periode 1980an banyak negara berkembang mulai melakukan banyak P3B,” ujarnya.

Namun setelah proses berlangsung persoalan yang muncul adalah, P3B ternyata juga kerap dimanfaatkan dalam skema penghindaran pajak (treaty shoping). Sehingga tidak mengherankan jika belakangan ini ada negara-negara yang berpandangan perlunya renegosiasi P3B .

Di sisi lain, pada dasarnya Proyek BEPS juga telah memasukkan rencana aksi melawan treaty shoping melalui Aksi 6. “Solusinya memang menerapkan kebijakan principle purpose test atau limitation on benefit yang akan diletakkan dalam perubahan P3B secara simultan melalui multilateral instrument,” jelasnya.