PEMUNGUTAN PAJAK, Bayang-bayang Risiko Aset Kripto Indonesia

10 May 2022

BisnisIndonesia, Senin, 09/05/2022 02:00 WIB

Kebijakan pengenaan pajak aset kripto berpeluang menghadirkan situasi yang dapat diibaratkan dengan pisau bermata dua.

Kebijakan pengenaan pajak aset kripto berpeluang menghadirkan situasi yang dapat diibaratkan dengan pisau bermata dua.

Babak baru di industri aset kripto (cryptocurrency) di Indonesia dimulai pada awal bulan ini, yaitu per 1 Mei 2022, di mana aset digital tersebut resmi dipungut pajak oleh Pemerintah Indonesia.

Adapun, kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 tentang Peraturan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Sekadar informasi aset kripto di Indonesia telah diatur sebagai barang komoditi yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan yang mengenai perdagangan aset kripto diatur dan diawasi oleh Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Aset kripto digolongkan sebagai komoditas yang regulasinya diatur dalam Peraturan Bappebti No. 7/2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Sementara itu, pengenaan pajak terhadap aset kripto menurut Kementerian Keuangan salah satunya didasarkan pada definisi aset tersebeut sebagai sebuah komoditas. Dengan demikian, aset kripto dinilai memenuhi kriteria sebagai objek pajak pertambahan nilai atau PPN.

Maka dari itu aset kripto diatur bukan sebagai mata uang atau surat berharga, tetapi merupakan barang berupa hak dan kepentingan lainnya yang berbentuk digital. Alhasil, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai memandangnya sebagai Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan perlu mengatur ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa aturan itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto Perlakuan perpajakan mengacu kepada status aset kripto dalam kerangka hukum Indonesia.

Sebab, Bank Indonesia menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah, sedangkan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas.

“Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” ujar Neilmaldrin pada Rabu (13/4).

Menanggapi kebijakan itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) & COO Tokocrypto, Teguh Kurniawan Harmanda, menyambut baik langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, kebijakan itu termasuk dalam upaya peningkatan pendapatan negara, salah satunya dengan pengenaan pajak perdagangan aset kripto.

Dia pun menilai dengan adanya kebijakan ini, bisa memberikan dampak positif pada industri kripto yang kini sudah dipandang memiliki legitimasi yang kuat.

“Kebijakan pajak ini secara tidak langsung menjadi pengakuan negara terhadap legalitas perdagangan aset kripto. Indonesia berani mengambil langkah ini, ketika sejumlah negara melarang perdagangan dan penambangan kripto,” katanya melalui siaran pers, Kamis (28/4).

Hal senada pun diungkapkan oleh CEO Indodax Oscar Darmawan. Menurutnya, kebijakan perpajakan tersebut akan menambah legalitas aset kripto sebagai komoditas digital yang diakui dan sah diperjualbelikan di mata hukum

“Sebelumnya, kripto sudah diakui sebagai komoditas lewat peraturan dari Kementerian Perdagangan dan diregulasi oleh lembaga bernama Bappebti,” kata Oscar, Kamis (28/4).

POTENSI RISIKO

Ibarat pisau bermata dua, kebijakan perpajakan terhadap aset kripto tersebut selain memberikan efek positif, juga dapat memberikan dampak negatif.

Kurniawan mengatakan, pihaknya tidak anti dengan pengenaan pajak terhadap aset kripto. Menurutnya, selain menjadikannya sebagai bentuk keberterimaan negara terhadap aset kripto, kebijakan itu juga dapat menunjukkan kontribusi investor aset kripto terhadap pendapatan negara.

“Kami tidak anti terhadap pajak. Sebagian besar para pelaku pasar aset kripto terutama yang telah terdaftar di Bappebti, sangat memahami dan mengapresiasi maksud pemerintah mengenakan pajak berupa PPN dan PPh terhadap aset kripto,” ucap Kurniawan.

Namun demikian, dia melihat risiko bisa datang dari terlampau cepatnya pelaksanaan pemungutan pajak terhadap aset kripto. Sebab beleid baru itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada 30 Maret 2022 dan diundangkan pada hari yang sama. Pemberlakuannya pun langsung diketok mulai 1 Mei 2022.

Manda melihat cepatnya implementasi regulasi pajak transaksi ini, membuatnya jauh dari kata sempurna. Seharusnya ada rentang waktu yang cukup untuk penyesuaian proses bisnis hingga sosialisasi.

Sebab jika melihat pada penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 11%, dibutuhkan waktu setidaknya 6 bulan, mulai Oktober 2021—April 2022.

Dia khawatir, pertumbuhan industri aset kripto yang meningkat secara eksponensial terancam melambat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pengenaan pajak yang akan menambah beban bagi investor, baik baru maupun lama, serta pelaku industri.

Berkaca dari situasi yang terjadi di India, di mana menurut laporan perusahaan riset, Crebaco, menyebutkan volume perdagangan aset kripto di Negeri Taj Mahal itu menurun usai pemberlakuan pajak 30%. Meski, tarif pajak yang dibebankan jauh lebih rendah di Indonesia, bukan tidak mungkin hal sama bisa terjadi.

“Dampak terhadap pertumbuhan transaksi dan jumlah investor bisa saja terjadi imbas dari pengenaan pajak. Maka, dari itu pemerintah harus memperketat pengawasan agar para investor kripto dalam negeri tidak kabur bertransaksi di exchange luar negeri guna menghindari pajak,” ujarnya.

Sekadar informasi, ketentuan pajak terhadap aset kripto meliputi sejumlah hal. Pertama, ketentuan tarif PPN 0,11% terhadap nilai transaksi kripto yang dilakukan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) berstatus Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Bappebti.

Kedua, ketentuan tarif PPN 0,22% terhadap nilai transaksi nilai kripto, jika PPMSE bukan Pedagang Fisik Aset Kripto yang terdaftar di Bappebti. Adapun, jasa penyedia sarana elektronik untuk memfasilitasi transaksi aset kripto (jasa exchange dan dompet elektronik) merupakan jasa kena pajak dan dikenai mekanisme umum PPN.

Ketiga, jasa penambangan (mining) aset kripto merupakan jasa kena pajak yang dipungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 10% dari tarif PPN atau 1,1% terhadap nilai uang atas aset kripto yang diterima penambang.

Keempat, terkait dengan PPh, pedagang aset kripto dikenai PPh 22 final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi untuk PFAK yang terdaftar di Bappebti dan 0,2% dari nilai transaksi non PFAK tidak terdaftar di Bappebti. Penambang aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1% dari nilai transaksi.

Dengan demikian PMK 68 mengatur 3 hal yakni transaksi jual-beli aset kripto, jasa memfasilitasi transaksi (exchange) dan jasa verifikasi transaksi (mining).