PENERIMAAN NEGARA, Lena Komoditas & Rapuhnya Fondasi Pajak

25 February 2022

BisnisIndonesia,  Jum’at, 25/02/2022 02:00 WIB

Tak bisa dipungkiri, komoditas acap menjadi Dewi Fortuna penerimaan negara. Meroketnya harga hasil sumber daya alam menebalkan kantong pemerintah dari pajak, kepabeanan, pun penerimaan negara bukan pajak. Lamun, tingginya ketergantungan pada komoditas berisiko merapuhkan fondasi penerimaan negara, terutama pajak.n

Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan bahwa penerimaan negara masih sangat bergantung pada faktor eksternal, atau di luar upaya ekstra otoritas fiskal.

Singkat kata, seandainya pemangku kebijakan berdiam diri pun kantong pemerintah akan tetap terisi karena diuntungkan oleh sektor bisnis yang memanfaatkan tingginya harga sejumlah komoditas.

Jika ditelisik, sejak paruh kedua tahun lalu penerimaan negara cukup terbantu oleh melejitnya harga sejumlah komoditas, terutama batu bara.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu engsel penentu keberhasilan otoritas pajak melampaui target penerimaan setelah selama 12 tahun selalu tak tergapai.

Memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19, lagi-lagi komoditas menjadi idola pemerintah seiring dengan menanjaknya harga minyak di pasar global.

Alhasil, untuk pertama kalinya sejak hawar Corona postur fiskal mencatatkan surplus.

Dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), sektor migas berhasil mencatatkan pertumbuhan yang amat menjulang, yakni 281,23% pada bulan pertama tahun ini.

Capaian tersebut sangat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PPh nonmigas yang hanya naik 56,70%.

Faktanya, sektor nonmigas merupakan cerminan dari geliat perekonomian di dalam negeri, baik di bidang industri pengolahan, perdagangan, maupun lini bisnis lainnya.

Celakanya, pemerintah masih sangat mengandalkan komoditas terutama minyak, untuk memupuk penerimaan negara sepanjang 2022. Hal ini pun tak lepas dari pergerakan harga yang memang jauh di atas ekspektasi.

Moncernya penerimaan migas pada bulan lalu tak terlepas dari realisasi Indonesian Crude Price (ICP) pada Desember 2021 yang penerimaannya diserahkan pada Januari 2022.

Kementerian Keuangan mencatat, ICP pada Desember 2021 mencapai US$73,36 per barel. Adapun target ICP yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 ditetapkan senilai US$63 per barel.

Tingginya harga minyak di pasar global berimplikasi pada terkereknya setoran masyarakat atau pelaku usaha baik melalui pajak, bea keluar, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Belum lagi, pemerintah juga berasumsi harga komoditas di luar minyak seperti batu bara, nikel, hingga crude palm oil (CPO) pada tahun ini masih cukup cerah.

Khusus untuk komoditas minyak, saat ini mulai mencatatkan kenaikan yang cukup tajam pascaserangan militer Rusia ke beberapa wilayah Ukraina.

Kondisi ini akan melahirkan windfall bagi penerimaan negara, terutama yang bersumber dari PNBP dan pajak.

Berdasarkan catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Indonesia memang beberapa kali mendapatkan windfall atau durian runtuh dari moncernya harga sejumlah komoditas.

BKF mencatat, khusus untuk CPO dan batu bara telah membukukan kenaikan harga hampir 200% per bulan lalu jika dibandingkan dengan level sebelum pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia.

Kepala BKF Febrio Kacaribu bahkan sempat mengatakan windfall komoditas menjadi juru selamat penerimaan negara setidaknya hingga pertengahan tahun ini.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono mengatakan, penyokong penerimaan adalah komoditas batu bara, peningkatan harga minyak mentah atau ICP, mineral, dan penjualan hasil tambang.

“Harga komoditas tambang diproyeksikan masih bagus sehingga PPN dari sektor pertambangan juga menjadi penyokong penerimaan APBN,” kata dia kepada Bisnis, Kamis (24/2).

Menurutnya, prospek komoditas masih sangat menjanjikan kendati diprediksi oleh banyak kalangan tidak akan semenjulang tahun lalu.

Kendati demikian, bukan berarti pemerintah terlena dengan kondisi tersebut. Pembenahan struktur penerimaan tetap wajib dijalankan untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, otoritas fiskal perlu membenahi struktur penerimaan negara sehingga mengikis ketergantungan pada komoditas.

SEKTOR LAIN

Caranya adalah dengan mengoptimalisasi sumber penerimaan dari sektor lain, terutama yang terkait dengan industri di dalam negeri sehingga setoran dari wajib pajak tetap terjaga.

Hal ini menurutnya mendesak mengingat penyebaran varian Omicron berisiko menahan laju konsumsi dan menghambat aktivitas manufaktur, sehingga penghasilan yang diperoleh pun berpotensi menyusut.

“Perlu ada penyesuaian arah perekonomian seperti faktor yang di atas, sehingga akan berdampak pada potensi penerimaan negara,” kata dia.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kenaikan harga sejumlah komoditas masih berlanjut pada tahun ini sejalan dengan memanasnya tensi geopolitik global, di antaranya batu bara, gas, dan minyak mentah.

Kemudian, untuk komoditas yang merupakan unggulan di Indonesia seperti nikel, CPO maupun karet, juga tetap berada pada posisi yang tinggi.

Sri Mulyani berharap, tren kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia ini dapat memberi daya dorong pada prospek pertumbuhan ekonomi ke depan.

“Salah satu konsekuensi dari geopolitik termasuk dikenakannya sanksi yang akan memengaruhi sentimen maupun kondisi dari supply demand, terutama komoditas energi,” kata Sri Mulyani.

Tidak salah apabila pemerintah memanfaatkan momentum harga komoditas dan perang antara Rusia-Ukraina sebagai katalis untuk memacu penerimaan negara lebih tinggi.

Rasanya, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mendapatkan durian runtuh dari peperangan yang melibatkan dua negara tetangga di Benua Biru tersebut.

Namun, hal yang tak kalah penting adalah menyehatkan fondasi penerimaan negara, terutama pajak yang menjadi tulang punggung utama, dengan membantu pelaku industri pulih dengan cepat dan tangguh.

Jika misi itu dijalankan, maka ada atau tidak windfall komoditas struktur penerimaan pajak tetap kokoh.