REFORMASI PAJAK INTERNASIONAL Menolak Pajak Minimum Global

22 August 2023

Tegar Arief
Selasa, 22/08/2023

Bisnis – Aksi kompak ditunjukkan oleh negara-negara Asean yang segendang sepenarian menolak penerapan pajak minimum global atau global minimum tax, meski telah disetujui oleh 138 negara di dunia.

Indonesia selaku pemegang keketuaan Asean pada tahun ini pun telah menggalang dukungan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk meninjau ulang skema yang termuat dalam konsensus Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe).

Bukannya tanpa alasan komunitas regional ini menolak pajak minimum global. Musababnya, penerapan skema itu akan menghambat investasi asing ke negara berkembang, sementara potensi penerimaan yang bisa dikantongi negara pun tak bisa dibilang tinggi.

Pasalnya, tarif pajak minimum dunia sebesar 15% itu hanya bisa dikenakan pada perusahaan multinasional dengan ambang batas (threshold) peredaran bruto di atas 750 juta euro per tahun. Artinya, tidak semua korporasi bisa tercakup dalam skema tersebut.

Sementara itu, mayoritas negara Asean masih mengandalkan insentif pajak penghasilan (PPh) korporasi untuk menarik minat investor. Pun dengan Indonesia yang masih amat mengandalkan tax holiday.

Persoalannya, apabila negara menebar insentif sehingga tarif efektif pajak korporasi di bawah batas global minimum tax sebesar 15%, maka pemerintah akan kehilangan hak pemajakan.

Sebab, Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Inilah yang membuat seluruh negara berkembang kelimpungan, termasuk Asean. Isu ini pun akan diusung untuk dibahas lebih lanjut dalam KTT yang digelar bulan depan.

“Strateginya, jangan sampai setelah global minimum tax karena pajak rendah, negara lain yang mendapatkan keuntungan,” kata Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Yogi Rahmayanti, Senin (21/8).

Soal mitigasi atas hilangnya hak pemajakan ini pun akan dibahas dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Asean atau Asean Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (AFMGM).

Soliditas Asean untuk mengkritisi konsensus yang difasilitasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu juga terlihat dalam pertemuan AEM-26th Asean Investment Area (AIA) Council, di Semarang, akhir pekan lalu.

Dalam forum tersebut, Asean sepakat merombak protokol investasi yang membuka peluang masuknya poin tambahan di sektor prioritas. Salah satu substansi yang krusial adalah soal pajak minimum global.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan global minimum tax belum memberikan dampak positif bagi negara berkembang yang masih memanfaatkan tax holiday untuk menarik investor.

“Dengan minimum global tax, maka tax holiday itu maksimal 15%. Kita sudah memutuskan bahwa ini butuh kajian ulang,” tegasnya.

TIADA SOLUSI

Asumsi soal terbatasnya keuntungan yang diterima negara berkembang dari skema pajak minimum global bukan omong kosong belaka. Sejumlah lembaga internasional pun telah menyoroti hal ini dan menyarankan negara berkembang untuk melakukan mitigasi risiko.

The South Centre dalam laporan mengenai implikasi solusi pajak global untuk negara berkembang yang diterbitkan bulan lalu menuliskan bahwa hampir tidak ada solusi yang adil bagi negara berkembang soal konsensus ini.

Memang, negara berkembang masih bisa mengamankan penerimaan dengan skema pajak minimum domestik atau qualified domestic minimum tax (QDMT) sehingga penerimaan tetap aman meski tarif efektif PPh badan di bawah 15%.

Melalui QDMT, Indonesia terlebih dahulu mengenakan top up tax sebelum negara asal korporasi mengutip pajak dengan skema tersebut. Dengan demikian, tak ada penerimaan yang lari ke negara lain.

Penyusunan QDMT tak hanya krusial bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara berkembang lainnya karena mayoritas perusahaan multinasional ber­asal dari negara ma ju.

Persoalannya, aspek regulasi masih kurang mendukung untuk menerapkan skema tersebut. Terlebih, sistem PPh yang termuat dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan belum mengakomodasi skema pemajakan sesuai Pilar 2.

Terlepas dari adanya kendala tersebut, South Centre pun memandang ketentuan QDMT tidak memberikan efek signifikan ke penerimaan negara berkembang. Musababnya, basis dari pajak minimum itu adalah laba.

Persoalannya, laba bisa dialihkan menggunakan praktik penghindaran pajak secara agresif, misalnya dengan pembayaran bunga atau royalti dengan nilai yang signifikan.

“Jika demikian, tidak ada pajak yang dapat dikumpulkan melalui QDMT meski tarif minimal 15%,” tulis South Centre.

Di sisi lain, pemerintah pun sempat terbelah dalam merespons konsensus Pilar 2 itu. Berdasarkan catatan Bisnis, Kementerian Keuangan selama ini pro pada kebijakan evaluasi insentif, termasuk tax holiday, sebagai konsekuensi dari aktifnya keterlibatan Indonesia dalam negosiasi perpajakan dunia.

Sebaliknya, Kementerian Investasi/BKPM berkepentingan untuk mempertahankan tax holiday yang dianggap sebagai magnet kuat penarik penanaman modal.

Faktanya, pemangku kebijakan sejatinya masih memiliki celah untuk menunda implementasi pajak minimum global dengan skema carve out, yakni penangguhan penerapan mekanisme pajak dalam kurun waktu tertentu atau pengenaan tarif dengan besaran tertentu di bawah 15%.

Persoalannya, tidak semua sektor usaha bisa menikmati fasilitas tersebut. Sejauh ini, lini bisnis yang bisa memanfaatkan carve out adalah entitas pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, investment fund, dan real estat.

Di sinilah peran pemerintah kemudian berfungsi, yakni sejauh mana memperjuangkan sektor-sektor yang mendapatkan carve out dalam negosiasi di panggung dunia.

Sejauh ini, beberapa sektor yang diusahakan mendapatkan carve out adalah pertambangan dan pengolahan sumber daya alam (SDA).

Carve out pun diberikan khusus untuk negara berkembang yang masih membutuhkan insentif pajak untuk menarik investasi dalam rangka menggerakkan ekonomi.

Berkaca pada fakta di atas, otomatis pemerintah masih bisa mengamankan investasi sepanjang skenario yang disusun berjalan lancar. (Ni Luh Anggela/Annasa R. Kamalina/Maria Elena)

Editor : Sri Mas Sari