STIMULUS EKONOMI : 5 Insentif Pajak untuk Properti
24 June 2019
Bisnis Indonesia Senin, 24/06/2019 02:00 WIB
Bisnis, JAKARTA — Pemerintah menyiapkan lima insentif fiskal di sektor properti guna mendorong investasi dan pertumbuhan sektor properti yang tengah lesu. Insentif fiskal tersebut tak hanya bakal dinikmati oleh pengembang, tetapi juga oleh masyarakat.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara menyatakan bahwa kebijakan insentif fiskal sektor properti perlu diambil karena saat ini kontribusi sektor realestat (properti) terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung mengalami penurunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor properti pada 2018 hanya 3,58%. Bahkan sejak 2015 selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDB Indonesia.
Proporsi realestat terhadap PDB berkisar di bawah 3% selama beberapa tahun terakhir. Pada 2015, sektor ini mampu berkontribusi 2,84% dari PDB. Namun sejak 2016 angkanya mulai berangsur menurun ke posisi 2,83%, 2,82% pada 2017, dan pada 2018 kembali terjun ke angka 2,74%.
Berdasarkan Indeks Pertumbuhan Harga Properti Residensial di 18 kota utama, juga menunjukkan tren perlambatan dalam 5 tahun terakhir, sejalan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi domestik yang juga mengalami perlambatan.
“Dengan adanya insentif fiskal untuk properti, diharapkan sektor ini akan mengalami peningkatan, sehingga efeknya bagus kepada perekonomian,” ujarnya, Jumat (21/6).
Atas alasan tersebut, pemerintah mengambil sejumlah kebijakan baru untuk memicu geliat sektor tersebut dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.
Adapun lima kebijakan baru terkait insentif fiskal sektor properti tersebut yakni; pertama, peningkatan batasan tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rumah Sederhana sesuai daerahnya.
Relaksasi batas harga rumah yang berhak mendapatkan insentif pembebasan PPN tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.81/2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa, dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
“Dengan adanya kenaikan batasan itu, maka akan lebih banyak rumah sederhana yang bisa bebas dari PPN,” tegas Suahazil.
Harapannya, lanjut dia, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah bisa terjaga untuk memperoleh rumah.
Kedua, pembebasan PPN atas rumah/bangunan korban bencana alam. Beleid ini mengatur bahwa korban bencana alam, baik yang dibiayai pemerintah, swasta, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mendapatkan pembebasan PPN, guna meringankan beban korban yang ingin kembali memiliki rumah tinggal.
Ketiga, peningkatan batasan nilai hunian mewah yang dikenakan PPh dan PPnBM, dari semula sebesar Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar.
Beleid yang berlaku sejak 10 Juni 2019 ini mengatur bahwa hanya hunian mewah yang meliputi rumah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya yang bernilai di atas Rp30 miliar, yang dikenakan PPnBM sebesar 20%.
Aturan tersebut tertuang dalam PMK No.86/PMK.010/2019 tentang Perubahan Atas PMK No.35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM.
Keempat, penurunan tarif PPh 22 atas hunian mewah, dari tarif 5% menjadi 1%. Adapun payung hukum kebijakan ini direncanakan bakal terbit dalam pekan depan.
Kelima, simplifikasi prosedur validasi PPh penjualan tanah/bangunan, dari 15 hari menjadi 3 hari. Beleid yang termaktub dalam Peraturan DJP No.28/PJ/2018 tersebut sebagai bentuk insentif dari sisi pelayanan.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan menegaskan bahwa beberapa syarat dalam proses validasi setoran PPh final memang dipermudah dan dipersingkat.
Sejumlah kemudahan itu antara lain, bahwa sebelumnya, pengembang hanya bisa menyampaikan satu permohonan untuk satu objek properti. Namun, kini satu permohonan dapat diajukan untuk beberapa objek dan multi pembayaran, terlampir dalam satu dokumen saja.
“Selama ini, itu yang dikeluhkan pengembang karena validasi PPh final ini sangat penting untuk proses pengajuan sertifikat kepemilikan properti, jadi kritikal tapi prosesnya takes time karena satu per satu,” ujar Robert, Jumat (21/6).
Menurutnya, dengan adanya simplifikasi itu, waktu proses validasi setoran PPh final properti tersebut dari yang sebelumnya memakan waktu 3 hari kerja untuk satu dokumen dapat dipangkas.
Dia menjelaskan, kini dalam 3 hari kerja, pengembang bisa menyelesaikan hingga 10 bukti validasi, sedangkan untuk bukti validasi yang lebih banyak hanya membutuhkan waktu paling lama 10 hari kerja.