UU PPH & UU PPN : Pemerintah Simulasi Revisi Tarif Pajak
22 May 2019
Bisnis Indonesia Rabu, 22/05/2019 02:00 WIB
Bisnis, JAKARTA — Pemerintah mulai menyimulasikan skema tarif yang akan dirumuskan dalam revisi tarif Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).n
Informasi yang dihimpun Bisnis, salah satu skema yang tengah diutak-atik otoritas fiskal di antaranya terkait rencana penurunan tarif PPh korporasi serta menyiapkan kompensasinya dengan menaikkan tarif PPN.
Kompensasi tersebut diperlukan, apalagi PPh badan merupakan salah satu komponen utama dalam penerimaan PPh nonmigas. Jika merujuk pada realisasi penerimaan 2018, kontribusinya ke penerimaan pajak di atas 20%.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara tak menampik kabar tersebut. Menurutnya, pemerintah memang telah fokus menampung berbagai masukan, termasuk melakukan simulasi untuk memperoleh rumusan yang tepat untuk menetapkan kebijakan tarif PPh maupun PPN ke depan.
“Sebagai policy kami masih mencari tahu arahnya ke mana. Oleh karena itu kami tengah melakukan estimasi-estimasi, termasuk modeling baik dari kami sendiri maupun tempat lain,” kata Suahasil kepada Bisnis, pekan lalu.
Suahasil menegaskan sebagai sebuah kebijakan, proses perumusannya memang memerlukan kombinasi untuk meminimalisir dampak negatif dari pelaksanaan kebijakan. Selain rumusannya tepat, kebijakan yang ditempuh pemerintah bisa berkontribusi positif terhadap perekonomian.
Adapun dalam catatan Bisnis, wacana penurunan PPh koporasi sebenarnya bukan wacana baru. Dalam laporan berjudul ‘Corporate Tax Statistics’ OECD menyebut bahwa tarif pajak penghasilan korporasi di berbagai negara dalam 2 dekade terakhir mengalami penurunan.
Tarif pajak penghasilan badan yang dikenakan berbagai negara kepada korporasi rata-rata sebesar 21,4% sepanjang 2018, jauh menurun dibandingkan dengan 2000 sebesar 28,6%.
Data tersebut merujuk pada tarif PPh badan yang ditetapkan pada sebanyak 94 yurisdiksi perpajakan di dunia, termasuk dengan menyertakan sederet negara suaka pajak.
Laporan yang sama memperlihatkan hanya tersisa sekitar 20% yurisdiksi pajak di dunia yang masih mempertahankan tarif pajak korporasi sebesar atau lebih dari 30% sepanjang 2018.
Artinya, sebagian besar yurisdiksi perpajakan di dunia menerapkan rezim pajak yang lebih rendah bagi korporasi. Sementara itu, Indonesia saat ini masih mengenakan tarif PPh badan sebesar 25%.
TREN PPN
Di satu sisi untuk PPN, justru menunjukkan kebalikannya, dari 2008–2018, setidaknya dari 25 negara OECD pernah sekali menaikan tarif PPN-nya. Selain itu, dalam konteks global, rata-rata tarif global juga sebenarnya relatif tinggi dibandingkan dengan yang diterapkan di Indonesia.
Sebagai contoh, merujuk kajian Indonesia Taxation Quarterly Report Q1/2019 yang didasarkan pada KPMG tax rates database, tarif PPN global 2019 berada pada kisaran 15,4% atau cukup konsisten sejak 2015. Rata-rata global itu tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan yang berlaku di Indonesia yakni 10%.
“Kami pertimbangkan semuanya, karena kami tidak ingin kebijakan diputuskan hanya satu sisi. Sebab di Thailand efektifnya 7%,” tegas Suahasil.
Sementara itu, Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri bahwa saat ini ada beberapa tren yang menyangkut PPN. Kenaikan tarif standar hanya salah satu yang menjadi isu di global saat ini.
Kendati demikian, dia tak memungkiri, jika dibandingkan dengan tren global yang rata-rata pada angka 15%-an, tarif yang berlaku di Indonesia masih lebih rendah.
“Ini memang agak menarik, berlainan dengan PPh. Di beberapa negara memang malah justru ada tren kenaikan. Apakah ini akan menjadi pertimbangan juga, itu belum tahu,” ungkapnya.
Hanya saja, bagi Bawono, persoalan PPN tidak hanya masalah kenaikan tarif. Ada beberapa isu lainnya yang sebenarnya cukup penting misalnya mulai dari perluasan basis, pembenahan administrasi untuk mencegah kebocoran, hingga masalah mengenai transaksi perdagangan internasional juga patut disoroti.
“Ada juga soal kewajiban pengusaha kena pajak dalam value chain tertentu misalnya di online marketplace, di Indonesia malah dicabut,” tegasnya.
Seperti diketahui, jika dihitung menggunakan skema VAT ratio, proses pemungutan PPN jauh dari kata optimal. Sebagai ilustrasi dengan penerimaan PPN pada 2018 sebesar Rp538,2 triliun dan posisi PDB pada angka Rp14.837,4 triliun, VAT ratio pada tahun lalu hanya 3,6%.
Meski lebih baik dibandingkan dengan 2017, tetapi realisasi ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya pada 2015 yang mencapai 3,67% dan 2014 yang mencapai 4,05%.
Sementara itu, untuk VAT efficiency ratio, dengan formula di atas, angkanya masih pada kisaran 36,2%. Angka itu mengonfirmasi bahwa penerimaan PPN bahwa penerimaan PPN hanya 36% dari potensi yang dihitung berdasarkan PDB.
Adapun, VAT gross collection ratio dengan tarif PPN 10% dan konsumsi rumah tangga yang berada pada angka Rp8.269,8 triliun, berada pada angka 65,08%.
Artinya, pemungutan PPN yang dilakukan oleh Ditjen Pajak, hanya bisa mencakup 65,08% dari total potensi penerimaan yang ada. Padahal rata-rata internasional bisa berada pada kisaran 70%.