Bisnis tertekan pandemi, asuransi jiwa minta insentif pajak dan keringanan iuran OJK

10 August 2020

Kontan, Senin, 10 Agustus 2020 / 18:00 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bisnis asuransi jiwa tertekan sepanjang paruh pertama 2020 akibat pandemi Covid-19. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pendapatan premi asuransi jiwa hingga Juni 2020 senilai Rp 79,42 triliun. Nilai itu turun 7,26% year on year dibandingkan Juni 2019 senilai Rp 85,64 triliun.

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai penurunan ini wajar terjadi lantaran semua bisnis sektor keuangan juga mengalami dampak. Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengakui industri asuransi jiwa sangat membutuhkan banyak stimulus dalam situasi saat ini.

“Kami di industri sudah minta beberapa stimulus ke OJK, sebagian besar sudah diberikan. Mungkin yang belum itu masalah iuran OJK. Kalau boleh tahun ini dihilangkan atau diturunkan dulu,” ujar Togar kepada Kontan.co.id pada Senin (10/8).

Selain itu, Ia menyebut stimulus mengenai kewajiban membayar pajak juga sudah diberikan oleh pemerintah, baik secara langsung mau pun tidak langsung. Ia mengambil contoh PPh 21 untuk karyawan berpenghasilan di bawah Rp 200 juta setahun.

“Namun sayangnya tidak diberikan stimulus PPh 25 bagi asuransi jiwa, padahal asuransi syariah diberikan. Kami pernah mengusulkan agar masyarakat yang beli polis asuransi jiwa, diberikan insentif pajak. Jadi sekian persen dari premi dimasukkan dalam penghasilan tidak kena pajak (PTKP),” papar Togar.

Asal tahu saja, Peraturan Pemerintah PP 11/2014 tentang Pungutan oleh OJK diatur, mengenai biaya tahunan untuk pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian oleh OJK. Lembaga keuangan membayar iuran sebesar 0,045% dari total aset yang dimiliki atau paling sedikit Rp10 juta.

Pasal 17 dalam beleid itu disebutkan pihak yang sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan, OJK dapat mengenakan pungutan sampai dengan 0% dari besaran pungutan.

Sebenarnya baru memberikan relaksasi penjualan unitlink secara digital mulai Rabu, 27 Mei 2020 hingga status darurat wabah Covid-19 dicabut oleh pemerintah. Sebelumnya, penjualan produk berbalut investasi ini harus dilakukan secara tatap muka fisik. Penjualan secara fisik ini tidak bisa dilakukan selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Relaksasi yang diberikan oleh regulator itu, tetap mensyaratkan melakukan penjualan secara tatap muka. Namun boleh menggunakan teknologi, salah satunya melalui Video Conference yang dapat dilakukan perekaman.

Oleh sebab itu, pada kuartal pertama 2020 saja, Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia mencatat terjadi perlambatan pendapatan premi dari produk unitlink sebesar 7,5% year on year menjadi Rp 27,18 triliun hingga Maret 2020.

“Pada kuartal pertama 2020 itu, Covid-19 sudah masuk ke Indonesia tepatnya pada awal Maret 2020. Yang kemudian ada himbauan social atau phisycal distancing. Orang sudah mulai takut ketemu dengan orang lain. Pasti penjualan sudah tidak bisa dilakukan secara optimal,” jelas Togar.

Ia menyatakan, produk unitlink lebih mendominasi dari pada produk tradisional dalam portofolio kinerja asuransi jiwa. Unitlink memberikan kontribusi 61,6% atau setara dengan Rp 27,18 triliun pada paruh pertama 2020.

Sedangkan produk tradisional hanya berkontribusi 38,4% terhadap total premi atau setara dengan Rp 16,93 triliun. Bila ditotal hingga tiga bulan pertama 2020, pendapatan premi asuransi jiwa mencapai Rp 44,11 triliun. Nilai itu turun 4,9% yoy dari kuartal I-2019 yang senilai Rp 46,40 triliun.

“Menurut perkiraan kami, setelah adanya relaksasi pemasaran produk unitlink, diharapkan dapat menumbuhkan perolehan premi produk unitlink. Namun demikian, pelonggaran ini diperkirakan baru akan kelihatan dampaknya pada kuartal III-2020 dan seterusnya. Kami berharap agar pelonggaran ini dapat terus berlanjut ke depannya, dan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi seluruh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia,” papar Togar.