Dunia di Ambang Resesi, Kinerja Penerimaan Pajak RI 2023 Masih Aman?

11 October 2022

Selasa, 11 Oktober 2022 /

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah mendulang penerimaan pajak yang positif di semester pertama 2022. Penerimaan pajak di paruh pertama tahun ini mencapai Rp 868,3 triliun, atau tumbuh 55,7% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Realisasi tersebut juga sudah lebih dari separuh target penerimaan pajak yang dipatok Kementerian Keuangan, atau sudah mencapai 58,5% dari target sebesar Rp 1.485 triliun. Adapun kinerja penerimaan pajak di periode tersebut didorong oleh windfall komoditas dan adanya program pengungkapan sukarela (PPS) alias tax amnesty Jilid II.

Hanya saja, windfall komoditas diperkirakan tidak akan terulang kembali di tahun depan sehingga berpotensi tidak akan menjadi pendorong kinerja penerimaan pajak di tahun depan. Selain itu, program PPS juga tidak akan ada lagi di tahun depan.

Terlebih lagi, resesi ekonomi global di tahun 2023 semakin nyata. Bahkan perkiraan resesi tersebut telah disampaikan oleh Presiden World Bank Group David Malpass bahwa bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunganya dan tren tersebut diperkirakan akan berlanjut di tahun depan. Pada ujungnya, kebijakan tersebut berdampak kepada perlambatan ekonomi yang bisa memunculkan resesi di banyak negara.

Merespons hal tersebut, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan bahwa kinerja penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh melonjaknya harga komoditas seiring dengan adanya permintaan yang melonjak.

“Belum tentu juga di tahun depan akan kondisi seperti apa. Apakah nanti ada stabilan baru sehingga nanti agaknya harga-harga komoditas itu tidak berpengaruh pada penerimaan kita,” ujar Nufransa dalam Poscast Cermati Episode 5: Pajak Melonjak?,” Selasa (11/10).

Untuk itu, pihaknya akan terus mewaspadai kondisi global dan diharapkan tidak selamanya akan bergantung kepada windfall komoditas dalam mendulang penerimaan pajak apabila di tahun depan ada ekuilibrium atau harga keseimbangan.

“Tentu saja berharap walaupun maksudnya nanti harganya itu mencapai ekuilibrium baru yang tentu saja mungkin terjadi, kalau sekarang kan harganya sudah mulai turun. Kita tidak lagi terlalu berharap untuk ke sini (windfall komoditas),” tambah dia.

Dalam merespon ancaman resesi di tahun depan, Nufransa bilang, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan menyiapkan strategi dalam meraih penerimaan pajak di tahun depan dengan cara melihat potensi-potensi mana saja yang masih ada atau selama ini mungkin belum diperhatikan dari sisi potensi penerimaan pajak.

Sementara itu dari sisi pengawasan, pihaknya juga akan senantiasa selalu mengembangkan dan bekerjasama dengan pihak-pihak kementerian/lembaga atau instansi lain untuk mendapatkan data. Pasalnya PPS yang telah usai dilaksanakan akan menjadi perluasan basis data yang sudah dimiliki oleh Ditjen Pajak.

“Semakin banyak data yang kita kumpulkan itu akan menjadi semakin bagus databasenya dan bisa menjadi salah satu pembanding buat kepatuhan wajib pajak. Itu salah satu strategi yang mungkin nanti juga kita kembangkan terus menerus secara kontinyu,” tutur Nufransa.

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, dalam menentukan target pajak di tahun depan, pemerintah telah menghitung berbagai pertimbangan termasuk berbagai risiko dan ketidakpastian global. Untuk itu, apabila harga komoditas melandai di tahun depan, pihaknya masih optimis dalam mengejar target penerimaan pajak di tahun depan.

“Kita di dalam menyusunkan target kemarin itu sudah memperhitungkan kira-kira nanti kalau harga komoditas sudah tidak lagi setinggi tahun ini, itu sudah dimasukkan di dalam salah satu variabel perhitungan target penerimaan yang akan datang,” ujar Yon saat menjawab pertanyaan Kontan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (4/10).

Asal tahu saja, penerimaan pajak pada tahun depan ditargetkan sebesar Rp 1.718 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas yang ditargetkan sebesar Rp 61,4 triliun, PPh non migas Rp 873,6 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Rp 743 triliun, dan Pajak Bumi dan Bangunan Rp 31,3 triliun dan pajak lainnya Rp 8,7 triliun.