EVALUASI REGULASI PERPAJAKAN Mesin Penggali yang Tak Bertaji

30 December 2022

Tegar Arief & Wibi Pangestu Pratama
Jum’at, 30/12/2022

Bisnis – Kamis malam, 7 Oktober 2021, Kementerian Keuangan memaparkan data yang cukup gamblang mengenai potensi penerimaan dari implementasi UU No. 7/2021. Tak tanggung-tanggung, beleid itu diklaim mampu menjaring tambahan pajak hingga Rp136,3 triliun pada 2022. Faktanya, angka itu masih teramat berat untuk digapai.

Kala itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terlihat cukup lega setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Raut wajah penuh optimisme pun tampak tatkala bendahara negara menggelar jumpa pers pada Kamis malam. Tentu soal detail mengenai implementasi regulasi sapu jagat di bidang perpajakan itu.

Dalam catatan otoritas fiskal, penerimaan pajak dari penerapan UU HPP pada tahun ini mencapai Rp1.401,3 triliun, sementara apabila mengesampingkan beleid itu, penerimaan hanya di posisi Rp1.265 triliun.

Artinya, UU HPP akan menimbun penerimaan hingga Rp136,3 triliun hanya dalam waktu kurang dari setahun. Ini merupakan target yang teramat ambisius.

Memang, UU itu mulai diterapkan pada 1 Januari 2022. Akan tetapi, pelaksanaan substansi pokok yang mampu mendulang penerimaan kurang dari satu tahun.

Pertama, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Tax Amnesty Jilid II yang digelar hanya 6 bulan, yakni 1 Januari—30 Juni. Dari program ini, pemerintah mengantongi setoran Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp61,01 triliun.

Kedua, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang hanya efektif selama 9 bulan, karena baru diimplementasikan pada April 2022. Hingga 14 Desember lalu, kenaikan tarif PPN menyumbang penerimaan senilai Rp53,57 triliun.

Pemerintah memang memiliki perangkat lain untuk menggali penerimaan, yakni pajak teknologi finansial dan pajak kripto. Akan tetapi, potensi ini tak seberapa dibandingkan dengan PPS dan PPN. (Lihat infografik).

Saat ini, pemerintah hanya bisa menggantungkan ambisi target implementasi UU HPP itu pada optimalisasi PPN yang tarifnya naik sbeesar 1% per April lalu.

Di sisi lain, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan PPN dari perubahan tarif di angka Rp60 triliun. Itu pun meleset, karena estimasi otoritas fiskal penerimaan hanya di angka Rp56 triliun.

“Ya, Rp56 triliun sudah . Artinya memang sudah sesuai dengan perkiraan kami, kurang lebih,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Perpajakan Yon Arsal, dalam siniar yang disiarkan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Kamis (29/12).

Dengan asumsi tersebut, maka total tambahan penerimaan pajak dari penerapan UU HPP hanya senilai Rp117,44 triliun.

Angka itu dihitung dengan mengacu pada total penerimaan yang per 14 Desember 2022 senilai Rp115,01 triliun ditambah potensi setoran PPN pada dua pekan terakhir tahun ini yang senilai Rp2,43 triliun.

Artinya, potensi penerimaan pajak yang gagal terpungut dari implementasi UU HPP senilai Rp18,86 triliun.

Hampir tidak mungkin bagi pemerintah untuk berburu Rp18,86 triliun hanya dari mengandalkan pajak teknologi finansial dan pajak kripto.

Sejatinya, ada substansi lain yang bisa diandalkan untuk mengatrol penerimaan dari PPh, yakni pajak natura. Persoalannya, kendati telah diimplementasikan sejak awal tahun ini, beleid turunan dari pajak atas kenikmatan itu baru diterbitkan pada bulan terakhir 2022.

Natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, maka PPh atas penghasilan tersebut wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2022 oleh penerima.

Singkat kata, wajib pajak dituntut melakukan self assessment atau menghitung, membayar, dan melaporkan secara mandiri. Karena PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan baru dirilis pada 20 Desember 2022, pajak ini pun tak signifikan mendorong pencapaian target pemerintah.

DINAMIKA

Sedari awal, target yang ditetapkan oleh pemerintah dari UU HPP memang teramat tinggi. Apalagi, ada banyak dinamika terjadi pada tahun ini, yang memang tidak terprediksi oleh seluruh ihak, termasuk pemangku kebijakan.

Di antaranya adalah genderang perang antara Rusia-Ukraina yang berkumandang sejak pengujung Februari 2022, disusul lonjakan inflasi, dan bermuara pada pengetatan kebijakan suku bunga acuan.

Kesemua kendala itu menggembosi aktivitas konsumsi dan ekspansi bisnis, yang kian mengimpit pemerintah untuk memungut pajak secara optimal sebagaimana yang ditargetkan dari pelaksanaan UU HPP.

Parahnya lagi, PPN yang menjadi jenis pajak andalan negara dari UU HPP cukup terseok akibat lemahnya daya beli masyarakat yang dipicu oleh inflasi, kenaikan tarif, serta dikatrolnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 3 September lalu.

“Semuanya berdasarkan asumsi dan memang terlihat besar sekali penambahannya ,” kata Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, kepada Bisnis.

Sementara itu, sebagai salah satu penyumbang pajak terbesar, kalangan pelaku usaha di Tanah Air pun memandang 2022 sebagai warsa penuh badai.

Kondisi ini tecermin di antaranya pada pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sejak awal 2020, sehingga meninggalkan scaring effect yang masih belum tuntas.

Selanjutnya, konflik Rusia dan Ukraina yang masih menjadi isu sentral yang membuat kondisi geopolitik menghadapi ketidakpastian. Kondisi lain, supply chain global mengalami gangguan, dan mengakibatkan harga komoditas fluktuatif.

“Bahkan kemudian inflasi yang secara global terjadi dan memberikan sentimen negatif terhadap daya beli masyarakat,” kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani.

Ekonomi memang terbilang masih berat pada tahun ketiga pandemi Covid-19. Dampak ketegangan geopolitik di Eropa Timur pun menambah kecemasan pelaku ekonomi di seluruh dunia.

Bisnis yang macet akibat beragam faktor di atas pada gilirannya akan memengaruhi gerak roda ekonomi dan mengakibatkan terbatasnya pencapaian angka sasaran yang telah ditetapkan.

Pemerintah memang boleh berbangga lantaran penerimaan pajak pada tahun ini telah menembus target, bahkan melampaui angka outlook yang ditetapkan.

Apalagi, penerimaan pada tahun ini amat diuntungkan oleh faktor di luar upaya ekstra negara, yakni komoditas. Ibarat kata, pemerintah diam pun penerimaan pajak akan tinggi selama harga komoditas seperti minyak, gas, dan lainnya menjulang.

Hal yang perlu diingat, publik pun tak lupa mengenai ambisi tinggi pada UU HPP yang sempat dibanggakan oleh seluruh pejabat negara sebagai cangkul tajam penggali sumur penerimaan.

Jangan sampai, puas diri atas keberhasilan mencapai target pajak secara umum menghapus fakta rendahnya daya dongkrak penerimaan pajak dari upaya yang dilakukan pemerintah. Evaluasi pun patut dilakukan.

Editor : Tegar Arief