Indef: Potensi penerimaan pajak digital bisa capai Rp 530 miliar

17 May 2020

Kontan, Minggu, 17 Mei 2020 / 22:34 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, resmi akan menarik pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan/atau jasa digital mulai 1 Juli 2020 mendatang. Pengenaan PPN yang ditetapkan, adalah sebesar 10% dari nilai yang dibayar oleh pembeli barang dan/atau penerima jasa.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Jumlah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, potensi penerimaan pajak tersebut bisa mencapai Rp 530 miliar.

“Potensi penerimaan dari pajak digital ini, dihitung dari proyeksi pendapatan mereka (perusahaan terkait) dalam setahun dan dikalikan PPN 10% dengan asumsi tingkat kepatuhan pajak sebesar 50%,” ujar Nailul kepada Kontan.co.id, Minggu (17/5).

Tentunya jumlah tersebut cukup besar bagi penerimaan negara, terlebih di tengah pandemi Corona seperti saat ini.

Lebih lanjut, ia menyoroti beberapa poin yang menjadi persoalan di dalam PMK 48/2020. Pertama, pelaku usaha yang dari luar negeri seperti Zoom, Netflix dan sebagainya bisa menekan pemerintah dari masing-masing negaranya untuk melakukan intervensi.

Terutama pelaku usaha digital dari China yang memang pemerintahnya memiliki peran besar.

Untuk itu, ia menekankan agar pemerintah Indonesia bisa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai tindakan ini memicu negara lain untuk mulai menerapkan hal yang lebih besar lagi dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia.

Kedua, dengan adanya bukti bahwa kegiatan pelaku usaha PMSE mempunyai significant economic presence, maka implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan. Jadi memang benar-benar harus tepat sasaran,” kata Nailul.

Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata, bukan seperti aset atau barang yang berwujud. Untuk itu, ia menyoroti agar pemerintah bisa lebih detail untuk mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen.

Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN.

Nailul menjelaskan, di dalam PMK masih ada celah bagi transaksi PMSE. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.

Lebih lanjut, Nailul mengatakan dari sisi pemerintah, implementasi pengenaan PPN saat ini merupakan waktu yang sangat tepat trafik digital di Indonesia pasti akan meningkat karena adanya kebijakan work from home (WFH).

Namun, dari sisi konsumen tentu pengenaan PPN akan sangat memberatkan. Ini karena, konsumen akan menanggung semua biayanya sendirian. Jadi karena kebijakan WFH, mau tidak mau konsumen harus membayar atau mencari cara lain yang lebih terjangkau untuk mengakses barang dan/atau jasa digital.

Sebagai solusi, Nailul menyarankan pemerintah bisa memilih transaksi digital mana dulu yang harus dikenakan PPN, serta mana yang harus dibiarkan dulu layanannya berjalan tanpa PPN guna memberikan produk ke masyarakat secara murah.

Artinya, dalam penerapan awal nanti pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, sesuai dengan produk prioritas yang bisa dikenakan PPN agar masyarakat bisa menyesuaikan diri secara perlahan.