INSENTIF PAJAK Menyelinap Celah Sempit Konsensus

01 December 2022

Tegar Arief
Rabu, 30/11/2022

Bisnis – Diskon pajak yang ditebar di Ibu Kota Nusantara membuktikan pemerintah betul-betul memanfaatkan celah sempit dalam skema pajak minimum global. Hal ini sekaligus mengakhiri polemik perihal masa depan insentif pascakesepakatan global.n

Diskon pajak yang ditebar di Ibu Kota Nusantara membuktikan pemerintah betul-betul memanfaatkan celah sempit dalam skema pajak minimum global. Hal ini sekaligus mengakhiri polemik perihal masa depan insentif pascakesepakatan global.

Aneka diskon yang mereduksi tarif efektif pajak korporasi alias pajak penghasilan (PPh) badan ditebar pemerintah untuk memancing minat investasi Ibu Kota Nusantara (IKN). (Baca halaman 1).

Sejatinya, kebijakan ini kontraproduktif dengan semangat komunitas global untuk menciptakan keadilan pajak, terutama dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe).

Secara konkret, Pilar 2 mengakomodasi skema PPh korporasi minimum global atau global minimum tax dengan tarif sebesar 15%, serta subject to tax rule (STTR) terkait dengan pemberlakuan tarif withholding tax.

Substansi dalam Pilar 2 juga memaksa pemerintah untuk mengakhiri rezim tebar diskon pajak yang selama ini acapkali menjadi pemanis bagi investasi.

Namun, pemangku kebijakan terbukti mampu menciptakan siasat untuk tetap menarik minat investasi tanpa mencederai konsensus global, terutama perihal tarif pajak minimum sebesar 15%.

Apalagi, global minimum tax hanya berlaku pada perusahaan multinasional dengan penerimaan minimal 750 juta euro per tahun. Inilah kemudian yang menciptakan peluang bagi pemerintah.

“Yang berpeluang hanya perusahaan yang tidak masuk ke dalam cakupan Pilar 2,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis, Selasa (29/11).

Sekadar informasi, skema Pilar 2 memang berlaku secara khusus dan memberikan fasilitas pengecualian, terutama untuk entitas pemerintah, organisasi internasional, dan organisasi nirlaba.

Sektor lain yang dibebaskan dari ketentuan itu adalah investment fund dan real estat. Tak hanya itu, Pilar 2 bahkan memberikan pengecualian apabila korporasi multinasional tetap tunduk pada peraturan setempat.

Selain secara sektoral, Pilar 2 juga memiliki skema carve out, yakni penangguhan penerapan mekanisme pajak dalam kurun waktu tertentu atau pengenaan tarif dengan besaran tertentu di bawah 15%.

Di sinilah peran pemerintah kemudian berfungsi, yakni sejauh mana memperjuangkan sektor-sektor yang mendapatkan carve out dalam negosiasi di panggung dunia.

Sejauh ini, beberapa sektor yang diusahakan mendapatkan carve out adalah pertambangan dan pengolahan sumber daya alam (SDA).

Carve out pun diberikan khusus untuk negara berkembang yang masih membutuhkan insentif pajak untuk menarik investasi dalam rangka menggerakkan ekonomi.

Pelaku usaha pun memandang insentif masih amat dibutuhkan untuk merangsang gairah penanaman modal, terlepas adanya keterikatan antara Indonesia dengan 136 negara lain dalam konsensus pajak yang difasilitas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai ada dua substansi penting yang amat diharapkan oleh pelaku usaha, yakni kepastian regulasi dan insentif.

“Pemerintah harus mendesain kebijakan yang satu sisi pro dengan investasi, di sisi lain harus membuat level playing field yang sama secara global,” ujarnya.

Akan tetapi, keputusan pajak untuk investasi di Nusantara tidak lantas menghapus seluruh persoalan.

HAK PAJAK

Polemik yang kemudian muncul adalah keterbatasan instrumen kebijakan untuk menjaring minat investasi. Pemerintah tidak bisa menjaring korporasi multinasional berskala besar yang masuk ke Nusantara.

Musababnya, apabila perusahaan global yang investasi di IKN dan dikenai tarif di bawah 15%, maka Indonesia justru akan dirugikan karena hilangnya hak pemajakan.

Pudarnya potensi penerimaan itu disebabkan oleh ketentuan pada Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara domisili atau negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Selain itu, risiko hilangnya hak pemajakan akibat dipertahankannya kebijakan tebar insentif juga muncul dari ketentuan top up tax yang diterapkan oleh negara asal perusahaan apabila beroperasi di negara dengan tarif pajak di bawah 15%.

Dengan demikian, hak pemajakan tak lagi melekat pada Indonesia, tetapi negara asal dari perusahaan tersebut.

Dalam konteks ini, pemerintah sesungguhnya masih memiliki opsi untuk mengamankan hak pemajakan melalui kebijakan pajak minimum domestik atau qualified domestic minimum tax (QDMT).

Singkatnya, Indonesia terlebih dahulu mengenakan top up tax sebelum negara asal korporasi multinasional mengutip pajak dengan skema tersebut. Dengan demikian, tak ada penerimaan pajak yang lari ke negara lain.

Penyusunan QDMT tak hanya krusial bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara berkembang lainnya, lantaran mayoritas perusahaan multinasional berasal dari negara maju.

Persoalannya, aspek regulasi masih kurang mendukung untuk secepatnya menerapkan skema ini. Terlebih, sistem PPh yang termuat dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan belum mengakomodasi skema pemajakan sesuai Pilar 2.

“Sehingga perlu ada lagi amandemen UU PPh. Sebelum memberlakukan Pilar 2 pada 2023, Indonesia memang perlu mempersiapkan penerapan QDMT,” kata pengajar ilmu administrasi fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono.

Editor : Sri Mas Sari