Jokowi Turunkan PPh Badan Jadi 22%, Apa Dampaknya ke Pasar?

01 April 2020

CNBC Indonesia, 01 April 2020 17:36

Jakarta, CNBC Indonesia – Dampak yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona (COVID-19) terhadap perekonomian dalam negeri tak bisa diremehkan. Hal ini memicu terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020.

Pada Perppu tersebut pasal 5 ayat 1, salah satu kebijakan pemerintah adalah menurunkan besaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang awalnya 25% menjadi 22%. Untuk badan usaha yang bentuknya perseroan terbuka dan memiliki setidaknya 40% dari total saham disetor dan diperdagangkan di bursa akan mendapat keringanan 3% dari yang harus dibayarkan.

Kebijakan ini awalnya dibahas di dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Sapu Jagad atau Omnibus Law. Dalam RUU tersebut, penurunan PPh Badan menjadi 22% baru akan dilakukan pada 2021 nanti. Namun akibat pandemi yang terjadi pemerintah mengeluarkan amunisi ini terlebih dahulu dan mulai diimplementasikan pada 2020 dan 2021.

Kelonggaran fiskal yang diberikan oleh pemerintah ini merupakan upaya pemerintah untuk meredam dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Pandemi yang sudah menjangkiti lebih dari 189 negara ini sudah masuk dan juga terus merebak di tanah air.

Dampak wabah ke perekonomian Indonesia pun sudah mulai terasa ke sektor riil. Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.

 IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3.

Angka tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.

Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya akibat pandemi COVID-19.

Kelonggaran fiskal berupa penurunan besaran PPh Badan ini digunakan untuk menggenjot perekonomian dan harusnya bisa meringankan beban sektor usaha terutama badan usaha yang berstatus publik dengan saham yang dimiliki setidaknya 40%.

Apalagi emiten-emiten yang nilai kapitalisasi pasarnya besar (big cap) seperti BBCA, BBRI, BMRI, TLKM dan emiten big cap lain setoran pajaknya termasuk besar.

Namun, pasar yang sempat merespons positif upaya pemberian stimulus tersebut harus kembali tertekan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menguat 0,31% hingga sesi I perdagangan, harus ditutup dengan koreksi 1,61% pada hari ini setelah pemerintah mengumumkan dampak dari wabah corona bisa sangat signifikan bagi perekonomian RI.

Jika mengacu pada estimasi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, ekonomi RI bisa benar-benar tertekan hebat karena wabah ini. “Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3%, bahkan skenario lebih buruk minus 0,4 persen,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah video conference hari ini (1/4).

Lebih lanjut mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut juga menuturkan pandemi COVID-19 mengakibatkan kegiatan ekonomi menurun, bahkan berpotensi menekan lembaga finansial. Hal ini terjadi lantaran ada potensi sejumlah kredit yang tak bisa dibayarkan oleh masyarakat akibat terdampak wabah.

Tak bisa dipungkiri, untuk saat ini efektivitas stimulus yang diberikan juga akan sangat tergantung dari seberapa parah ekonomi RI terdampak. Terkait seberapa parah dampaknya hanya bisa dijawab dengan seberapa besar skala wabah ini terjadi dan butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikannya.

Hingga hari kemarin, sudah ada 1.528 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus ganas ini. Sebanyak 1.311 orang masih berada dalam perawatan, 81 orang dinyatakan sembuh dan 136 orang meninggal dunia.

Jika skalanya makin besar dan tak segera bisa diatasi, dampak ekonominya akan makin signifikan sehingga efektivitas stimulus akan makin kecil. Apalagi stimulus mulai akan benar-benar terasa nanti setelah aktivitas ekonomi pulih.

Untuk saat ini stimulus memang dibutuhkan agar memacu ekonomi pulih lebih cepat. Namun faktor yang juga sangat krusial adalah bagaimana langkah untuk menekan transmisi virus hingga seminimal mungkin.

Pasalnya jika korban terus berjatuhan maka aktivitas ekonomi dan bisnis akan terganggu, sehingga pendapatan sektor bisnis pun akan semakin tergerus.