Kemenkeu: Pajak Karbon Tidak akan Memiskinkan Masyarakat

30 November 2021

Selasa, 30 November 2021 | 07:24 WIB
Nasori

JAKARTA, investor.id – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, dimasukkannya ketentuan pajak karbon (carbon tax) dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak dimaksudkan untuk menghimpun penerimaan negara. Langkah ini lebih ditujukan sebagai instrumen untuk menekan emisi gas rumah kaca.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio N Kacaribu mengungkapkan, secara nominal, nilai pajak yang dihimpun dari penerapan pajak karbon tidak terlalu signifikan. “Berdasarkan simulasi Kementerian ESDM, jika diterapkan April 2022, ada kelebihan sekitar 1 juta ton (karbon). Dengan pajak karbon minimal Rp 30 per kg, hanya diperoleh sekitar Rp 30 miliar,” ujar dia dalam diskusi dengan media, Senin (29/11).

Selain pajak karbon, dalam UU HPP pemerintah juga memberlakukan ketentuan soal perdagangan karbon (carbon trading). Dalam UU itu, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atas sisa karbon yang dihasilkan yang tidak bisa atau gagal diperdagangkan. Mekanisme ini disebut dengan mekanisme cap and tax.

 

Karena tujuannya untuk menekan emisi gas rumah kaca, menurut Febrio, konsep perdagangan dan pajak karbon ini diperkenalkan dengan sangat hati-hati dengan memperhatikan prinsip keadilan dan keterjangkauan (affordable). Sebagai contoh, tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kg adalah termasuk yang paling murah di dunia.

Sebagai perbandingan, Singapura menetapkan harga karbon US$ 4 per ton CO2, sedangkankan harga karbon tertinggi diberlakukan oleh Swedia sebesar US$ 137 per ton. “(Tarif kita) sangat affordable. Jadi, ketentuan ini tidak akan membebani masyarakat, tidak akan sampai memiskinkan masyarakat,” tandas Febrio.

 

Oleh karena itu, lanjut dia, paling tidak hingga 2024, pajak karbon hanya diberlakukan bagi pembangkin listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sedangkan terhadap industri tidak akan diberlakukan dalam waktu dekat. “Untuk industri paling cepat 2025-2030. Nanti kita lihat,” pungkas Febrio.

Editor : Nasori (nasori@investor.co.id)