KEPASTIAN HUKUM Wajah Baru Beleid Pajak

02 January 2023

Tegar Arief
Jum’at, 30/12/2022

Bisnis – Setoran pajak yang mengucur deras pada 2022 tak menyurutkan semangat pemerintah untuk terus melakukan perbaikan dalam konteks perpajakan. Penyempurnaan regulasi terus dipacu, dengan tujuan menciptakan kepastian hukum dan berdaya saing.

Pada tahun depan saja, setidaknya ada lima rancangan peraturan pemerintah (RPP) di bidang pajak yang akan didesain ulang, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

Dua di antaranya berfokus pada Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, serta tiga lainnya cenderung mengarah ke aspek penanaman modal.

Pertama, RPP tentang Perubahan Kedua atas PP No. 41/1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek. Rencananya, pemerintah akan mengubah skema pembayaran pajak atas transaksi saham.

Secara konkret, otoritas fiskal akan melakukan perubahan pihak pemotong transaksi penjualan saham di bursa dari sebelumnya oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi oleh Anggota Bursa (AB).

Tak hanya itu, perubahan juga mencakup mekanisme pemotongan tambahan PPh atas saham sendiri, pengenaan PPh transaksi penjualan saham pendiri oleh wajib pajak luar negeri, dan perdagangan saham secara over the counter.

Kedua, RPP tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan. Dalam konteks ini, perubahan dilakukan pada pengenaan tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD).

Selain itu, juga pemberlakuan dan penerapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21, serta pencabutan PP No. 80/2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN/APBD.

Dasar utama diubahnya mekanisme pemotongan PPh untuk orang pribadi ini adalah disahkannya UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Musababnya, UU HPP mengakomodasi perluasan bracket alias lapisan penghasilan kena pajak dari sebelumnya empat kelompok menjadi lima kelompok. Batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) pun diubah.

Substansi terbaru yang termuat dalam UU itu adalah beban tarif sebesar 35% untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun.

Adapun, dalam ketentuan sebelumnya batas maksimal tarif PPh adalah 30% yang berlaku untuk masyarakat dengan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun.

“Dengan perubahan bracket PPh perlu disesuaikan agar beban pajak pun proporsional,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, kepada Bisnis, Kamis (29/12).

Ketiga, RPP tentang Perubahan atas PP No. 53/2O17 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

RPP itu akan mengubah definisi kontraktor yang menjadi kewenangan dari Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sesuai PP No. 23/2015 tentang Pengeolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

Perubahan lain ada pada kriteria pemberian fasilitas perpajakan sejak produksi komersial hingga kontrak berakhir; pemberian fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tubuh Bumi, dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sejak produksi komersial hingga kontrak berakhir.

Selanjutnya, monitoring dan evaluasi atas pemberian fasilitas perpajakan yang diberikan sejak produksi komersial hingga kontrak berakhir.

Keempat, RPP tentang Perubahan Kedua atas PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Adapun, perubahan dalam RPP tersebut mencakup kriteria pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi, monitoring dan evaluasi atas pemberian fasilitas perpajakan yang diberikan pada masa eksploitasi.

Juga kewenangan penetapan domestic market obligation (DMO) price hingga 100% Indonesia crude price (ICP) bagi kontraktor existing kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tanpa persetujuan Menteri Keuangan, serta pemberian kesempatan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang di dalam kontak yang sudah ada menggunakan prinsip assume and discharge menjadi fasilitas pembebasan pajak tidak langsung dengan menggunakan kriteria tertentu.

Kelima, RPP tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Substansi yang diubah adalah penyelarasan ketentuan administratif pengajuan fasilitas sesuai dengan perkembangan sistem Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA).

Kemudian, penyempurnaan kriteria dan persyaratan pengajuan fasilitas serta proses pemberian fasilitas tax allowance dan penyesuaian kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2017 menjadi KBLI Tahun 2020.

Selain itu, penyesuaian bidang-bidang usaha yang diberikan fasilitas dalam Lampiran I dan Lampiran II PP No. 78/2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.

MENARIK INVESTOR

Tak bisa dimungkiri, ketiga RPP terakhir di atas disempurnakan dalam rangka menarik minat investasi serta meningkatkan penyerapan insentif fiskal untuk penanaman modal.

Apalagi, sejauh ini minat investor terhadap fasilitas yang diberikan oleh negara pun amat terbatas sehingga menjadi aral dalam upaya pemerintah menguatkan penghiliran serta peningkatan tenaga kerja.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan saat ini otoritas terkait tengah melakukan kajian untuk mengevaluasi fasilitas tax allowance.

“Sekarang lagi dievaluasi sektor-sektor yang akan diberikan , termasuk untuk daerah-daerah tertentu,” katanya.

Berkaca pada substansi yang akan ditata ulang tersebut, pemerintah memang tidak hanya berfokus pada ekosistem investasi di sektor riil, juga di pasar modal.

Selain itu, sasaran pembenahan pun tak sebatas pada wajib pajak badan atau perusahaan yang menanamkan modalnya di Tanah Air, melainkan juga mengakomodasi kepentingan wajib pajak orang pribadi.

Kalangan pemerhati pajak memandang, rencana penyempurnaan berbagai aturan di atas akan menguatkan implementasi UU HPP pada tahun depan, yang digadang menjadi salah satu cangkul andal penggali penerimaan negara.

“Aturan itu penyesuaian karena regulasi pajak sudah disahkan melalui UU HPP,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.

Sementara itu, soal penanaman modal pemerintah sepertinya masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat karena terbatasnya jumlah investor yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Sebagai contoh, dua fasilitas super tax deduction, yakni di bidang vokasi atau pelatihan kerja serta di bidang penelitian dan pengembangan atau litbang, yang sejauh ini pemanfaatannya masih amat cekak.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam Laporan Belanja Perpajakan 2021, menuliskan implementasi super tax deduction vokasi yang berjalan selama 3 tahun terakhir berjalan kurang optimal. Buktinya, fasilitas itu hanya dimanfaatkan oleh 66 pelaku usaha.

Pun dengan super tax deduction litbang yang mencatatkan kinerja serupa dalam implementasi selama 2 tahun terakhir, yakni hanya diakses oleh 23 pelaku usaha.

Dalam kaitan ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, mengatakan instansinya berupaya menyebarkan informasi mengenai fasilitas perpajakan kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi.

Terlebih, pemberian fasilitas ini merupakan kebijakan pemerintah yang diharapkan dapat mendorong peran dunia industri dan usaha dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan sehingga meningkatkan daya saing dan iklim investasi nasional.

“Namun, pilihan untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan fasilitas ini ada pada wajib pajak sesuai kebutuhan wajib pajak masing-masing,” kata Neil.

Terlepas dari seretnya serapan insentif, niat pemerintah untuk terus berbenah patut diapresiasi. Tak dapat dibantah, penyempurnaan lima RPP ini merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk tetap menarik minat investasi sehingga memiliki efek berganda yang besar pada ekonomi nasional.

Editor : Diena Lestari