KONSENSUS GLOBAL Pajak Digital & Bahaya Unilateral

19 October 2022

Tegar Arief
Rabu, 19/10/2022

Komunitas global memang telah mencapai konsensus pemajakan ekonomi digital sejak 2021. Akan tetapi, implementasi dari beragam skema pemajakan tersebut masih tarik ulur.n

Awalnya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menargetkan Pilar 1: Unified Approach pada 2023. Faktanya, pelaksanaan skema tersebut mundur hingga 2024.

Belakangan, terjadi tarik ulur Pilar 1 oleh yurisdiksi anggota Inclusive Framework. Hal itu diketahui dalam risalah pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Amerika Serikat (AS), pekan lalu.

Dalam rangkuman hasil pertemuan yang diperoleh Bisnis, G20 menyerukan kepada OECD untuk menuntaskan segala perangkat penunjang implementasi Pilar 1.

Hal itu termasuk menyelesaikan masalah yang tersisa dan dengan menandatangani Multilateral Convention (MLC) pada paruh pertama tahun depan. Sayangnya, G20 tidak memerinci permasalahan yang dimaksud.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, dinamika perumusan skema pemajakan pada Pilar 1 memang cukup rumit, sehingga penandatanganan MLC Pilar 1 diundur hingga pertengahan 2023, dan ditargetkan berlaku pada 2024.

Sekecil apapun persoalan yang timbul dari leletnya pelaksanaan skema itu berisiko memicu aksi unilateral dari yurisdiksi di dunia.

Unilateral adalah aksi sepihak yang dilakukan oleh negara tertentu dalam rangka menerapkan pemajakan tanpa mengindahkan respons atau pendapat dari negara lain.

Hal ini pun sejatinya pernah terjadi beberapa tahun silam saat segelintir negara menerapkan tarif pajak sepihak atas operasional bisnis perusahaan yang tidak memiliki kehadiran fisik tetapi mendapatkan penghasilan di negara tersebut.

Dinamika inilah yang kemudian melandasi OECD memfasilitasi konsensus global Solusi Dua Pilar.

Seiring dengan belum terpecahkannya beragam kesepakatan, serta mundurnya implementasi sistem pajak itu, risiko unilateral pun kembali memuncak.

“Mengambil langkah unilateral merupakan langkah mundur,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, kepada Bisnis, Selasa (18/10).

Tak bisa dibantah, ada banyak kepentingan yang mengiringi pembahasan kesepakatan tersebut.

Sebelumnya, Pilar 1 hanya terbatas pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB).

Setelah dibahas oleh Anggota G7 medio tahun lalu, cakupan proposal tersebut lebih luas yakni dengan mengarah kepada seluruh korporasi multinasional.

Secara konkret, Pilar 1 berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik, tetapi lebih kepada kehadiran ekonomi signifikan.

Pendekatan ini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atas 20 miliar euro dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10% dengan pengecualian untuk bisnis ekstraktif dan jasa finansial yang teregulasi.

Skema ini pun bersifat wajib atau harus diterapkan oleh anggota OECD/G20 IF yang menyepakati Solusi Dua Pilar.

Sementara itu, ada perbedaan analisa dari pemerintah dan International Monetary Fund (IMF) mengenai Pilar 1.

penggerusan

IMF dalam Digitalization and Taxation in Asia beberapa waktu lalu menuliskan Indonesia perlu mewaspadai risiko tergerusnya penerimaan dalam implementasi skema pemajakan tersebut.

Lembaga itu mengestimasi, negara berkembang seperti Indonesia berisiko kehilangan penerimaan sebesar 0,01% dari produk domestik bruto (PDB) jika mengimplementasikan Pilar 1. Singkat kata, kesepakatan itu hanya menguntungkan negara maju.

Laporan itu menuliskan, jika Amount A dalam proposal Pilar 1 hanya berlaku pada korporasi multinasional dengan pendapatan global di atas 20 miliar euro, profitabilitas di atas 10%, dan residual profit yang direalokasikan kepada yurisdiksi pasar hanya 25%, tambahan penerimaan yang dinikmati oleh Indonesia tidak signifikan, bahkan terancam memangkas penerimaan.

Hal ini disebabkan karena penghasilan yang diperoleh korporasi di dalam negeri tidak mencapai threshold OECD.

Asumsi IMF tersebut dikuatkan oleh analisa Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. BKF mencatat, ada lebih dari 100 korporasi multinasional yang memiliki pendapatan global lebih dari 20 miliar euro dan profitabilitas lebih dari 10%.

Meski demikian, terdapat beberapa korporasi multinasional yang memiliki penjualan signifikan di Indonesia, tetapi tidak tercakup dalam Pilar 1 akibat tidak terpenuhinya threshold yang dipersyaratkan itu. Hal ini tentu menyumbat aliran pajak dari perusahaan kepada negara.

Terlepas dari adanya perdebatan itu, penerapan pajak digital harus memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak yang berstatus sebagai wajib pungut.

“Dari sisi pihak yang harus menanggung beban pajak, mereka juga harus merasakan perlakuan yang adil,” kata Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono.

Isu ini memang terus menjadi polemik di arena perpajakan internasional. Tak bisa dibantah, aksi unilateral pun kembali menjadi ancaman.

Sejalan dengan itu, fungsi dari G20 dan beragam organisasi lain cukup krusial, guna menjaga konsensus pajak digital berjalan lancar, dan tanpa memakan waktu. ^(Wibi Pangestu Pratama/Ni Luh Anggela)