KPK: Modus Korupsi Pejabat Pajak dengan Meringankan Kewajiban WP

02 March 2023

Rabu, 01 Maret 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan, salah satu modus korupsi yang kerap dilakukan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu meringankan biaya yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

“Kalau masyarakat ngomong, ‘uang pajak saya dikorupsi oleh Dirjen Pajak’, bukan. Kawan-kawan yang bayar pajak itu memangnya setor di Dirjen Pajak? Bukan. Langsung lewat perbankan,” kata Alex saat ditemui awak media di gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2023).

Alex menjelaskan,  korupsi di sektor pajak terjadi karena terdapat perusahaan atau perorangan yang tidak taat membayar pajak. Kemudian, pejabat DJP melakukan negosiasi dengan para wajib pajak dan menurunkan besaran pajak yang harus mereka bayarkan.

Nantinya, lanjut Alex, pejabat DJP akan mendapatkan ‘jatah’. Artinya, baik wajib pajak maupun pejabat DJP sama-sama diuntungkan dengan memangkas pemasukan negara.

“Sebetulnya sama-sama untung itu antara pegawai pajak dan wajib pajak. Harusnya dia (wajib pajak) bayar 1.000 misalnya, dengan nego dia cukup bayar 500,” tutur Alex.

Alex menekankan, peluang tindak pidana korupsi di DJP juga timbul karena ketidakpatuhan para wajib pajak. Menurutnya, jika para wajib pajak membayar tanggungan mereka sesuai waktu dan besaran yang ditentukan, maka pejabat DJP tidak bisa melakukan korupsi.

Lebih lanjut, Alex juga menjelaskan bahwa anggapan ‘uang pajak masyarakat yang dikorupsi’ bukan terjadi atau dilakukan oleh pejabat DJP. Pajak yang dibayarkan masyarakat biasanya dikorupsi oleh pejabat yang melakukan pengadaan barang dan jasa.

Salah satunya dengan cara menggelembungkan anggaran atau harga barang yang dibeli. “Uang pajak yang korupsi koruptor itu untuk pengadaan barang dan jasa, di-mark up dan sebagainya. Sumbernya dari uang pajak yang dikorupsi,” tutur Alex.

Sebagai informasi, salah satu kasus korupsi di DJP, Kementerian Keuangan adalah perkara suap Angin Prayitno Aji. Ia merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak periode 2016-2019.

Angin memerintahkan bawahannya untuk mencari perusahaan yang memiliki wajib pajak. Melalui bawahannya, negosiasi besaran pajak yang dibayarkan pun dilakukan.

Pihak wajib pajak kemudian menjanjikan commitment fee berjumlah miliaran rupiah. Uang tersebut kemudian dibagi-bagikan Angin dan sejumlah bawahannya.

Sebelumnya, harta kekayaan dan gaya hidup mewah para pejabat di Kementerian Keuangan menjadi sorotan publik. Hal ini bermula dari kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo bernama Mario Dandy Satrio (20).

Rafael Mario diketahui publik kerap memberikan gaya hidup mewah di media sosial seperti menggunakan mobil Rubicon dan Harley Davidson. Dalam catatan LHKPN KPK, Rafael tercatat memiliki harta Rp 56,1 miliar.

Jumlah itu dinilai tidak sesuai dengan profilnya sebagai pejabat eselon II. Belakangan, perhatian publik semakin melebar.

Gaya hidup dan harta kekayaan pejabat Kementerian Keuangan pun ditelisik. Beberapa dari mereka terungkap memiliki motor gede (moge) senilai ratusan juta rupiah.

Selang beberapa waktu setelah kasus Mario mencuat, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Rafael terendus melakukan transaksi “yang agak aneh”.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menduga Rafael menggunakan nominee atau orang lain untuk membuka rekening dan melakukan transaksi.

PPATK pun telah mengirimkan hasil analisis transaksi mencurigakan Rafael ke KPK sejak 2012.  “Signifikan tidak sesuai profil yang bersangkutan dan menggunakan pihak-pihak yang patut diduga sebagai nominee atau perantaranya,” kata Ivan.