Laporan Tax Ratio 2023, Beneran Melempem Bu Sri Mulyani?

26 January 2023

NEWS – Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia

25 January 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan harga komoditas energi tahun ini tidak akan setinggi tahun lalu. Berimbas terhadap melempemnya penerimaan perpajakan.

Sehingga membuat penerimaan pajak akan melorot, dan pada akhirnya rasio pajak Indonesia pada tahun ini ikut melempem.

“Kita tahu harga komoditas tidak akan setinggi pada 2022. Sehingga APBN dari pendapatan cukup konservatif, sehingga pada 2023 akan lebih rendah,” jelas Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kemenkeu Rahadian Zulfadin dalam sebuah webinar, Rabu (25/1/2023).

Padahal dalam beberapa tahun ke belakang tax ratio terus tumbuh berkat aktivitas ekonomi yang terus meningkat. Haya pada 2020 saja perpajakan turun signifikan akibat pandemi. Namun tumbuh positif pada 2021 seiring pulihnya perekonomian.

Patut diketahui, penerimaan perpajakan pada 2020 hanya mencapai Rp 1.285,1 triliun atau turun 16,9% dari penerimaan perpajakan pada 2019 yang mencatatkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.546,1 triliun.

Adapun penerimaan perpajakan terus tumbuh pada 2021 dengan penerimaan sebesar Rp 1.546,5 triliun, terus naik menjadi Rp 2.034,6 triliun pada 2022.

Sementara target penerimaan perpajakan pada 2023 sebesar Rp 2.021,2 triliun atau turun 0,66% dari realisasi penerimaan perpajakan pada 2022.

Demikian juga dengan tax ratio perpajakan, tax ratio perpajakan terendah terjadi pada 2020 dengan persentase sebesar 6,68%. Pada 2021 hingga 2022, tax ratio kemudian kembali tumbuh masing-masing 9,11% pada 2021 dan 10,41% pada 2022.

Namun, pada 2023 tax ratio ditargetkan hanya mencapai 9,61%.

“Hanya 2020 saat ada pandemi, rasio perpajakan membaik dibandingkan masa-masa pandemi. Jadi, ini adalah hal-hal yang positif,” jelas Rahadian.

Rahadian bilang, bahwa APBN 2023 masih akan membutuhkan kinerja pendapatan yang kuat, karena defisit APBN akan kembali menjadi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pun dalam mengejar target penerimaan pajak pada tahun ini, Kementerian Keuangan mengungkapkan masih akan menghadapi tantangan. Tantangan tersebut yakni berupa perubahan aktivitas ekonomi pasca pandemi.

Selanjutnya ada tantangan efektivitas pemberian insentif perpajakan, tingkat kepatuhan WP yang akan didorong lebih optimal, perkembangan ekonomi global, tensi geopolitik dunia dan dinamika harga komoditas. Serta basis perpajakan masih dapat digali lebih optimal.

“Jadi walaupun kinerja sangat bagus, tapi tantangan masih ada dan masih terus dihadapi,” jelas Rahadian.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menambahkan, perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) akan mempengaruhi angka tax ratio.

Dalam melihat pertumbuhan penerimaan perpajakan dua tahun terakhir, realisasi perpajakan di tanah air telah tumbuh lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun tax ratio sempat menurun pada 2020.

“Sehingga pada 2023 sudah kembali pulih, namun belum bisa kembali ke level 10,8% seperti yang sudah terealisasi sejak 2015,” jelas Yon.

Sehingga penerimaan perpajakan tahun ini harus tumbuh, untuk dapat menjaga tax ratio tetap tumbuh dan kembali ke level double digit.

“Tahun ini, DJP dan Kemenkeu dituntut untuk melakukan penerimaan pajak lebih jauh tinggi lagi dari target,” ujar Yon.

“Ini jadi tantangan bagi otoritas perpajakan, Kemenkeu di 2023. Bagaimana tak semata capai target 100%, tapi capai target lebih dari bouncancy satu, sehingga tax ratio bisa kita tingkatkan,” kata Yon lagi.