Melihat Dampak UU HPP ke Masyarakat

08 October 2021

CNN Indonesia | Kamis, 07/10/2021

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah telah mengetok palu pengesahan Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) hari ini, Kamis (7/10) pada rapat paripurna dengan DPR RI.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai UU HPP tak terlepas dari upaya pemerintah mencari pendanaan baru guna mengurangi defisit APBN 2022 dan 2023 yang harus kembali ke level 3 persen.

Ia menilai dampaknya pun beragam terhadap berbagai lapisan masyarakat, yang paling terasa adalah harga barang yang terkerek naik akibat kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 mendatang.

Memang, kata dia, berbagai pemerintah dunia juga menaikkan tarif PPN akhir-akhir ini. Namun, ia mencatatkan agar pemerintah memastikan kenaikan PPN tidak lantas jadi kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi dari dampak pandemi covid-19.

Selain itu, ia juga menyoroti Program Pengampunan Pajak jilid II yang tertuang dalam RUU HPP. Ia menilai seharusnya tidak perlu diberikan tarif khusus untuk mereka yang secara sukarela melaporkan hartanya.

“Sebenarnya kalau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menelusuri tarif pajak dengan denda umum itu akan lebih besar potensi yang didapatkan,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/10).

Di sisi lain, Yusuf menilai ada juga poin dalam UU yang mencerminkan keadilan perpajakan seperti mengubah bracket pajak orang pribadi (PPh) terendah 5 persen dari penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta menjadi Rp60 juta.

Tak hanya itu, pemerintah juga mengubah tarif dan penambahan lapisan pajak penghasilan orang pribadi menjadi 35 persen untuk penghasilan kena pajak di tas Rp5 miliar.

Dari segi implementasi, ia menilai aturan penggunaan NIK KTP sebagai NPWP yang bakal paling sulit diterapkan. Pasalnya, dibutuhkan sinkronisasi antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Dalam Negeri perihal pencocokan data penduduk.

Secara keseluruhan, Yusuf menilai UU HPP tidak sepenuhnya mencerminkan reformasi perpajakan RI seperti yang diklaim pemerintah. Salah satunya Program Pengampunan Pajak Jilid II yang bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan.

Ia menyebut program tersebut di tahun depan membuat pemerintah seakan tidak konsisten dengan pernyataannya pada 2016 silam, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.

“Pemerintah seharusnya konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek WP yang lalai,” kata dia.

Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako mengatakan UU HPP tampaknya menjadi upaya terakhir pemerintah dalam mengejar penerimaan pajak baru dari WP.

Dari kacamata dia, implementasi UU HPP tidak bakal terlalu signifikan dalam menaikkan pendapatan pajak baru. Bahkan, ia menilai tak tepat bila pemerintah mengandalkan UU HPP dalam menggenjot penerimaan pajak.

Ia mengatakan sejatinya fasilitas yang bisa dipakai pemerintah sudah diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018. Dalam beleid, dinyatakan perusahaan wajib menetapkan pemilik manfaat (beneficial owner).

Sehingga, ia menilai bila saja aturan diterapkan oleh Kemenkeu dan Kemenkumham, maka pemerintah dapat menggenjot penerimaan lewat pemilik manfaat yang teregistrasi.

“Di sana jelas wajib lapor ke Kemenkumham siapa beneficial owner-nya, ini yang ga jalan, kalau jalan pasti ga mungkin ada Panama dan Pandora Papers,” kata dia.

Ronny juga mengingatkan pemerintah untuk melakukan sosialisasi guna menjelaskan secara rinci implementasi UU tersebut. Ia menyebut tak semua orang bakal paham dengan bahasa hukum yang sulit dipahami. Ia juga menekankan agar pemerintah memberikan rincian hingga ke simulasi agar aturan baru bisa dipahami semua warga.