Menelusuri asal usul rencana kenaikan tarif PPN dan respons pengusaha

06 May 2021

Kamis, 06 Mei 2021

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah berencana akan meningkatkan tari pajak pertambahan nilai (PPN) mulai tahun depan. Adapun tarif PPN yang berlaku saat ini yakni sebesar 10%.

Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut digunakan agar penerimaan pajak bisa mencapai target. Sebab tahun depan penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun atau tumbuh 8,37% hingga 8,42% dari proyeksi akhir tahun 2021.

“Kenaikan tarif PPN akan dibahas dalam Undang-Undang (UU) ke depan,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Musyarawah Perancanaan Pembangunan Nasional 2021, Selasa (4/5).

Usut punya usut, rencana untuk meningkatkan tarif pajak atas konsumen atau masyarakat tersebut telah bergulir sejak beberapa tahun lalu. Sumber Kontan.co.id yang enggan disebutkan namanya bercerita bahwa, rencana kenaikan tarif PPN merupakan kompensasi, sejalan dengan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan.

Kata dia, saat tarif PPh Badan turun maka akan terjadi potensi kehilangan sumber pajak korporasi, makanya kekurangan tersebut diharapkan bisa tertutup dari PPN seiring dengan kenaikan tarifnya.

Hanya saja akibat pandemi virus corona rencana tersebut ditunda. Dus, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, tidak ada klausul terkait kenaikan tarif PPN. Tapi, untuk PPh Badan turun dari 25% menjadi 22%, bahkan tambahan 3% menjadi 19% untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Sebenarnya waktu itu wacana sebenarnya PPN tidak boleh satu angka, jadi ada yang tetap (10%) ada yang dibesarin. Jadi pemikirannya (pemerintah) saat itu tidak boleh disamaratakan, bisnis kan berbeda-beda,” kata sumber Kontan.co.id tersebut.

Kendati demikian, niat pemerintah meningkatkan tarif PPN nampaknya semakin nyata. Sejalan dengan Menkeu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan pemerintah akan segera mengajukan revisi aturan terkait kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tarif pajak atas konsumen tersebut bisa lebih tinggi.

Airlangga menyebutkan saat ini rencana kebijakan PPN tersebut masih dalam pembahasan internal oleh pemerintah. Selain, PPN sederet reformasi perpajakan juga segera diajukan.

“Soal tarif PPN ini pemerintah masih melakukan pembahasan, dan ini juga dikaitkan dengan pembahasan Undang-Undang (UU) yang akan diakujan ke DPR yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan,” kata Airlangga saat Konferensi Pers, Rabu (5/5).

Sebagai informasi, dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mengisyaratkan tarif PPN dapat berada di kisaran 5% hingga 15%.

Artinya, meskipun saat ini pemerintah telah menetapkan tarif PPN 10%, pemberlakuan tarif 15% bisa diterapkan apabila ada peraturan pemerintah (PP) terkait atau revisi UU 42/2009.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita dengan tegas menolak adanya wacana kenaikan tarif PPN. Menurutnya, saat ini tahun 2020 bukan waktu yang tepat. Sebab, pemulihan ekonomi masih terus berlangsung.

Suryadi menyampaikan di tahun ini saja, penanganan pandemi masih jauh dari target. Hingga saat ini jumlah masyarakat yang disuntikan vaksin Covid-19 belum mencapai 10% dari total penduduk di Indonesia. Sehingga, aktivitas masyarakat diprediksi masih akan menurun akibat pembatasan sosial.

Setali tiga uang, daya beli masyarakat masih akan loyo. Suryadi mengatakan rencana kebijakan tersebut bertolak belakang dengan strategi pemerintah untuk menangani ekonomi atas dampak pandemi.

Pada Maret lalu, pemerintah telah memberikan relaksasi berupa diskon PPN untuk properti dan diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas penjualan kendaraan motor tertentu. Kebijakan fiskal ini bertujuan untuk mendongkrak roda perekonomian di sektor otomotif maupun perumahan.

Dus, harapannya bisa memulihkan daya beli di tahun ini dan berlanjtut di tahun depan. Nah, jika kenaikan tarif PPN berlaku di 2022, Suryadi menilai belum cukup waktu bagi masyarakat untuk membeli rumah, mobil, atau barang/jasa lainnya dengan harga yang melonjak hingga 5%, apabila tarif PPN naik jadi 15%.

“Keadaan tidak dinaikan saja daya beli masih minus, kalau PPN naik jelas tidak tepat tidak hanya menambah inflasi tapi juga ini membuat semakin pengusaha tidak percaya dengan pemerintah karena dengan keadaan susah bukan dibantu malah bakal PPN dinaikin,” kata Suryadi kepada Kontan.co.id, Kamis (5/5).

Kendati demikian, Suryadi mengatakan sekalipun tarif PPN ingin ditingkatkan, maka sebaiknya diimplementasikan pada 2024. Hitungan Suryadi vaksinasi baru selesai pada tahun depan. Setelahnya butuh satu tahun hingga 2023 agar aktivitas ekonomi masyarakat kembali stabil seperti periode sebelum pandemic.

“Tapi itu pun harus melihat keadaan kondisi ekonomi Indonesia yang sebetulnya pada 2024. Saya rasa dalam jangka pendek saat ini masih banyak cara perluasan basis pajak selain kenaikan tarif PPN,” ujar Suryadi.