Orang RI Tajir! Intip Harta Ribuan Triliun yang Dikejar Pajak

14 October 2021

NEWS – MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia

 

13 October 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memanfaatkan data yang bersumber dari Automatic Exchange of Information (AEOI) sejak 2018. Nilainya sangat fantastis, sebanyak Rp 2.742 triliun dari yurisdiksi partisipan (inbound) dan Rp 3.574 triliun dalam negeri.

Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, Rabu (13/10/2021), tertera bahwa data tersebut telah diklarifikasi kepada wajib pajak. Hanya saja ada yang belum berhasil.

Penyandingan antara data saldo keuangan dengan harta setara kas Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi menunjukkan, data yang telah diklarifikasi dalam SPT senilai Rp 5.646 triliun dimiliki oleh 7795 ribu wajib pajak.

Selanjutnya masih dalam kategori proses klarifikasi alias belum berhasil adalah 131 ribu wajib pajak dengan nilai harta Rp 670 triliun.

Secara khusus, untuk data penghasilan wajib pajak dari pertukaran yurisdiksi partisipan, meliputi dividen, bunga, penjualan dan penghasilan lain ketika disandingkan dengan data penghasilan luar negeri, ditemukan data yang telah diklarifikasi sebesar Rp 7 triliun (6 ribu wp) dan belum diklarifikasi Rp 676 triliun (50 ribu wp).

Ditjen Pajak tidak bisa memberikan konfirmasi atas data tersebut. Nilainya memang benar mencapai triliunan rupiah, akan tetapi karena jumlah data yang sangat banyak, maka dibutuhkan waktu lebih lanjut untuk penyandingan data.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, keputusan adanya program pengampunan pajak alias tax amnesty atau disebut program pengungkapan sukarela, karena banyak wajib pajak yang belum patuh.

Ditjen Pajak memang telah memiliki data yang bersumber misalnya dari AEOI. Akan tetapi tak cukup untuk memaksa pengemplang pajak memenuhi kewajibannya. Termasuk membayar sanksi.

“Sanksi 200% membuat orang takut mengungkapkan sukarela. Kenapa? terlalu berat. Maka direlaksasi. Negara tetap mendapat haknya dengan cara relaksasi sanksi,” jelas Yustinus.

Dengan adanya pengampunan pajak lagi pada 1 Januari 2022 mendatang, maka pengemplang tersebut mendapatkan kemewahan dengan tarif yang jauh lebih rendah. Maksimal 18% bagi yang sudah ikut tax amnesty 2016 dan memiliki harta di luar negeri namun tidak direpatriasi.

Selain itu, kata Yustinus masih ada sekelompok orang yang tidak tersentuh oleh pajak.

“Tidak semua terjaring AEoI. Bagaimana yang di dalam negeri dan underground? Bagaimana di negara lain dan belum ada kerjasama pertukaran?,” ujarnya.