Pajak Netflix dan Kemarahan Trump

07 August 2020

detikNews, Jumat, 07 Agu 2020 09:40 WIB

Jakarta – Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menginvestigasi kebijakan pajak layanan digital di Indonesia sempat membuat kegaduhan. Negara-negara Uni Eropa, Inggris, dan delapan negara lainnya juga tak luput dari radar Trump.

Tak jauh sebelum kabar itu terdengar, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengenakan PPN sebesar 10% atas impor layanan atau barang digital melalui sistem elektronik. Beleid yang kerap dikenal dengan “Pajak Netflix CS” ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 (PMK 48).

Banyak yang langsung teriak: “Hati-hati! Pajak Netflix CS bikin Trump Marah!”, lalu meminta pemerintah berpikir ulang sebelum menerapkan kebijakan tersebut. Lebih dari sekadar keengganan bayar tagihan streaming lebih mahal –meski tambahannya tak lebih dari harga seporsi nasi goreng– seruan semacam itu memperingatkan potensi risiko lebih besar: investigasi oleh United States Trade Representative (USTR) itu bisa berujung pada retaliasi.

Kekhawatiran itu bukan tanpa preseden. Prancis yang beberapa waktu lalu pernah diinvestigasi USTR, saat ini berada di gerbang perang dagang. USTR menginvestigasi Prancis karena diduga berencana menerapkan pajak yang diskriminatif atas tech giant asal AS. Pajak yang disebut Digital Service Tax (DST) itu ditetapkan sebesar 3%. Setelah satu tahun melakukan investigasi, USTR berkesimpulan bahwa Prancis telah mendiskriminasi perusahaan AS. Sebagai balasan, pemerintah AS sudah mengambil ancang-ancang untuk mengenakan bea masuk hingga 100 persen pada produk-produk Prancis seperti anggur, keju, dan tas.

Mungkinkah nasib Indonesia bakal serupa?

Jalan Terjal Konsensus Global

Kebutuhan untuk memajaki perusahaan digital seperti Amazon, Google, dan Netflix muncul karena perusahaan-perusahaan ini memperoleh penghasilan dari negara-negara di mana mereka tidak memiliki kehadiran bisnis yang signifikan, yang dalam istilah pajak disebut sebagai Permanent Establishment atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Padahal, dalam sistem pajak internasional yang berlaku, suatu negara hanya berhak memajaki bisnis yang berasal dari negara lain jika bisnis tersebut memiliki BUT di negara yang bersangkutan. Ada atau tidaknya BUT ditentukan dengan ukuran keberadaan fisik perusahaan di negara konsumen.

Masalahnya, banyak model bisnis di era digital tak lagi menjadikan kehadiran fisik sebagai kebutuhan mutlak. Suatu perusahaan sangat mungkin meraup profit di negara lain tanpa hadir sama sekali di negara tersebut. Ia tak harus berinvestasi pada infrastruktur dan operasi di negara konsumen.

Sistem pajak internasional yang belum mampu menangkap model bisnis era digital mendorong berbagai negara untuk duduk bersama memikirkan solusinya. Setidaknya ada dua tantangan (Haslehner dkk, 2019). Pertama, bagaimana menentukan yurisdiksi yang berhak memajaki perusahaan digital (where to tax). Kedua, bagaimana mengatribusikan laba yang dikenai pajak (what to tax).

OECD mengakomodasi perundingan solusi pajak di era digital ini. Harapannya, konsensus global bisa dicapai pada akhir 2020. Mencapai konsensus global bukanlah hal mudah. Prinsip-prinsip pajak internasional yang sudah diterapkan puluhan tahun harus dibongkar-pasang. Solusi yang menjadi konsensus diharapkan mengedepankan keadilan antara negara pasar dan negara domisili perusahaan, tanpa memberikan beban pajak berlebih (over-taxation) bagi perusahaan terkena kebijakan ini.

Jalan terjal ini membuat beberapa negara alih-alih menunggu konsensus global memilih langkah unilateral. Langkah inilah yang diambil Prancis yang akhirnya memicu perang dagang dengan AS.

Arsitektur DST Prancis dianggap mendiskriminasi raksasa digital AS karena pajak ini hanya diterapkan pada model bisnis digital tertentu (ring-fencing). DST Prancis juga secara tak langsung menyasar perusahaan tertentu berdasarkan asal negaranya. Selain itu, kebijakan ini inkonsisten dengan prinsip-prinsip perpajakan internasional yang berlaku.

DST Prancis memang secara spesifik menyasar perusahaan dengan dua kategori layanan: iklan melalui internet dan digital interface. Hasil investigasi USTR menunjukkan, 8 dari 9 perusahaan multinasional yang akan terdampak DST Prancis merupakan perusahaan digital asal AS. Perusahaan multinasional lain yang berkantor pusat di Prancis atau negara Uni Eropa lainnya tak akan terdampak karena tak tercakup dalam kategori layanan yang dikenai DST Prancis. Otoritas Prancis pun dengan gamblang menyebut DST sebagai “GAFA Tax”. GAFA singkatan dari Google, Apple, Facebook, dan Amazon –raksasa digital asal AS.

Bagaimana dengan Pajak Netflix CS?

Hal mendasar yang perlu kita pahami, Pajak Netflix CS yang diatur dalam PMK 48 merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berbeda dengan DST Prancis yang menyasar penghasilan perusahaan, PPN dikenakan atas pembelian barang atau pemanfaatan jasa oleh konsumen.

Secara konseptual, PPN merupakan indirect tax, jenis pajak yang bebannya ditanggung oleh konsumen akhir. Untuk transaksi yang dilakukan lintas negara, prinsip yang diterapkan di hampir semua negara adalah prinsip destinasi (destination principle). Berdasarkan prinsip ini, pengenaan PPN dilakukan di negara tempat barang atau jasa dikonsumsi atau dimanfaatkan.

Dari konsep ini bisa ditarik kesimpulan, tak ada tarik-menarik alokasi hak pemajakan dalam pemungutan PPN, sebagaimana terjadi dalam pengenaan pajak berbasis penghasilan. Tak ada dispute antara negara pasar dengan negara asal perusahaan digital, sebab dalam kasus PPN, pihak yang membayar pajak adalah konsumen, bukan perusahaan digital.

Pemungutan PPN atas impor layanan digital juga sudah cukup lama diterapkan banyak negara seperti Australia, India, China, dan negara-negara Uni Eropa. OECD juga mendukung pemungutan PPN atas impor layanan digital ini sebagai upaya mengamankan penerimaan negara dan menciptakan level playing field antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik. Dinilai dari sisi ini, Pajak Netflix CS justru sangat tepat diimplementasikan di tengah kantong negara yang kering akibat membiayai penanganan pandemi Covid-19.

Kendati tak ada isu dalam pengenaan PPN Netflix CS, ada skema pajak lain yang tak boleh luput diperhatikan. Untuk menyasar penghasilan perusahaan digital, pemerintah telah menyiapkan skema PPh Badan dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Kedua skema ini tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2020, dasar hukum yang sama yang menaungi PMK 48.

Pengenaan PPh Badan mungkin dilakukan dengan meredefinisi BUT dalam UU Pajak Penghasilan. Sedangkan PTE merupakan jenis pajak baru yang dikenakan jika PPh Badan tidak dapat diimplementasikan karena bertentangan dengan tax treaty negara lawan transaksi. Jika skema PPh ini diterapkan, artinya Indonesia mengambil langkah unilateral sebagaimana dilakukan Prancis. Skema inilah yang menjadi perhatian USTR.

Tentang itu pun kita boleh lega, sebab pemerintah sudah menyatakan komitmennya untuk menunggu konsensus global dan tidak gegabah mengambil upaya unilateral dengan menerapkan PTE. Sinyal ini sudah dikirim secara resmi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada otoritas AS.

Jadi, alih-alih meributkan PPN yang tak lebih dari harga nasi goreng itu, yang perlu kita awasi sekarang adalah arah diskusi menuju konsensus global dan kepentingan Indonesia di dalamnya. Lebih jauh lagi, kita juga harus siap sedia dengan rencana cadangan yang matang jika pada akhirnya konsensus tak tercapai.