Pemerintah Kaji Perluasan Pajak Karbon untuk Industri dan Transportasi

01 December 2021

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas rencana perluasan pengenaan pajak karbon di luar kategori Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 400 megawatt (MW) hingga 1000 MW.

Nyoman Ary Wahyudi – Bisnis.com 01 Desember 2021

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas rencana perluasan pengenaan pajak karbon di luar kategori Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 400 megawatt (MW) hingga 1000 MW. Rencananya, perluasan pajak karbon itu bakal menyasar pada PLTU di bawah 100 MW yang digunakan oleh industri hilir, kilang minyak dan gas, hingga sektor transportasi. Rencana perluasan pajak karbon itu disampaikan oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar saat menjadi pemateri dalam seri diskusi Indonesia Carbon Forum secara daring, Rabu (1/12/2021).

Wanhar menuturkan, kementeriannya tengah melakukan pembahasan intensif dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait menjelang implementasi pajak karbon pada 1 April 2022 yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Tentu saja kami harus meminta saran dan pertimbangan semua pihak, sehingga waktunya 1 April 2022 nanti cap [batas emisi] yang kami susun dan tetapkan berdasarkan keputusan menteri tidak akan jadi masalah,” kata Wanhar. Saat ini, kata Wanhar, pajak karbon masih diujicobakan kepada tiga grup PLTU batu bara dengan kapasitas di atas 100 MW.

PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW ditetapkan cap sebesar 0,918 ton per megawatt hour (MWh). PLTU dengan kapasitas 100–400 MW dikenakan nilai batasan emisi 1,013 ton CO2 per MWh. Terakhir, PLTU Mulut Tambang 100–400 MW dengan nilai cap mencapai 1,94 ton CO2 per MWh. “Kami akan diskusikan apakah nanti akan dibentuk lagi grup keempat cap untuk PLTU di bawah 100 MW, di mana selain milik pelaku usaha pembangkit listrik, ada juga pembangkit-pembangkit yang dioperasikan industri, seperti industri semen, kertas, atau industri lain yang menggunakan PLTU batu bara ini,” kata dia. Adapun, manuver untuk memperluas objek pengenaan pajak karbon itu ditargetkan untuk mempercepat ekosistem perdagangan karbon dalam negeri.

Rencana jangka pendek yang ditargetkan adalah seluruh unit PLTU di Tanah Air ikut berpartisipasi dalam perdagangan karbon, seiring dengan komitmen global untuk menekan emisi gas buang. “Saat ini dalam diskusi [perluasan pajak karbon] di migas, di kilang-kilang, atau nanti langsung loncat ke transportasi. Saya tidak bisa sampaikan ini, karena memang ada Kementerian Perhubungan yang kompeten untuk menjawab, tapi paling tidak di bidang migas setelah PLTU,” kata dia.

Di sisi lain, PT PLN (Persero) mengkhawatirkan pengenaan pajak karbon terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan berdampak pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan bahwa pengenaan pajak yang ditetapkan pemerintah akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan. Meski begitu, dia memastikan bahwa PLN sebagai BUMN akan mendukung seluruh kebijakan pemerintah, termasuk terkait pengenaan pajak karbon mulai 2022. “Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP, dan tentu saja dengan skema tarif saat ini akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi,” katanya kepada Bisnis, Rabu (13/10/2021).