Penerimaan Cukai hingga Maret Baru 12%, Ini Saran ke Pemerintah

22 April 2019

detikFinance, Senin, 22 Apr 2019 17:35 WIB

 

Jakarta – Penerimaan Bea dan Cukai Kementerian Kuangan (Kemenkeu) tercatat Rp 30,97 triliun di triwulan I-2019. Penerimaan itu setara 14,83% dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) 2019.

Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, dari jumlah total itu penerimaan cukai mencapai Rp 21,35 triliun atau tumbuh 165,11%. Jumlahnya mewakili 12,9% dari total target penerimaan cukai.

Untuk mengejar target penerimaan negara hingga 100% di akhir tahun, pemerintah disarankan melanjutkan reformasi kebijakan agar penerimaan dari sektor cukai lebih optimal.

Ekonom Institute For Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk melanjutkan rencana penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang.

Pabrikan yang telah mencapai batasan produksi SKM dan SPM harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing segmen.

Penggabungan batasan produksi dapat menghentikan kecurangan oleh pabrikan besar asing yang masih membayar tarif cukai murah.

“Kalau dia (Sri Mulyani) lakukan reformasi di pajak, begitu juga seharusnya pada cukai. Jadi potensi adanya kebocoran dari cukai rokok bisa dihambat atau dikurangi,” ujarnya.

Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo turut mengapresiasi reformasi perpajakan yang dilakukan Sri Mulyani.

Tidak hanya pada mengeluarkan kebijakan amnesti pajak, menurut Yustinus, Sri Mulyani juga melakukan penyederhaan adminitrasi perpajakan, seperti penggabungan nomor identitas kepabeanan dan NPWP.

“Lalu penyederhanaan administrasi seperti restitusi diperpendek. Tax reform sudah berjalan dan menyederhanakan administrasi,” ucapnya.

Sependapat dengan Bhima, Yustinus juga meminta pemerintah untuk melakukan perubahan pada sektor industri hasil tembakau. Dengan menggabungkan batasan produksi SKM dan SPM menjadi 3 miliar batang, menurut dia, hal ini akan mengoptimalkan penerimaan negara.

“Jadi pada intinya, batasan produksi ini untuk pengendalian. Jadi harus dilakukan, komposisi mesti imbang antara yang besar dengan yang besar. yang kecil dengan yang kecil,” jelasnya.

Selain reformasi perpajakan, masih ada indikator-indikator lainnya yang menjadi faktor penentu Sri Mulyani meraih penghargaan. Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu berhasil membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik dengan mencatatkan deficit anggaran terendah dalam enam tahun terakhir, yakni pada 2018 lalu yang hanya 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto/PDB.

Indikator lainnya, melalui Global Green Sukuk, Sri Mulyani mengantarkan Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menjual green bonds, surat utang yang digunakan secara spesifik untuk membiayai proyek-proyek iklim dan lingkungan hingga 1,25 miliar dolar AS.

Lalu, di tengah pelemahan nilai tukar seiring perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pemerintah bersama Bank Indonesia juga dinilai berhasil menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.