Pengamat: PSAK 72 akan memicu sengketa pajak perusahaan pasca pelaporan SPT

07 April 2021

Rabu, 07 April 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyatakan, perusahaan yang sudah, atau sedang, memfinalisasi Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) badan 2020 di bulan April 2021 harus mencermati potential tax dispute atau potensi beda penafsiran pajak sebagai akibat dari penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 72.

Sebagaimana diketahui, PSAK tersebut mulai berlaku di 2020 dan mengatur perlakuan akuntansi untuk pendapatan kontrak dari pelanggan berdasarkan principle-based approach. Dengan kata lain, pendekatan berbasis prinsip tersebut mengharuskan perusahaan untuk mengandalkan professional judgment yang dapat saja berbeda antara perusahaan dan petugas pajak.

Selain itu Prianto bilang professional judgment memungkinkan muncul multitafsir terhadap suatu transaksi yang berbasis kontrak, apalagi PSAK 72 mensyaratkan perusahaan untuk menggunakan estimasi saat penentuan harga transaksi.

Untuk PSAK 72, standar ini mengatur pendapatan kontrak dari pelanggan dan merupakan PSAK yang bersifat sapu jagad karena mengatur hampir semua transaksi pendapatan dari kontrak dengan pelanggan. Berdasarkan PSAK 72, ada lima tahapan pengakuan pendapatan yang mengacu ke kontrak penjual (barang/jasa) dan pelanggan mereka. Penentuan harga transaksi ini merupakan tahap ketiganya.

Menurutnya,  di tahap ketiga ini, perusahaan harus mempertimbangkan unsur estimasi. Contoh unsur estimasi adalah pemberian diskon atau bonus yang nantinya akan diberikan kepada pelanggan jika, misalnya, target volume transaksi tercapai. Unsur estimasi yang bersifat variabel tersebut juga dapat berupa pelayanan purna jual seperti servis gratis bagi pembelian kendaraan bermotor baru.

“Nah, ini masalah utama tax dispute antara interpretasi perusahaan dan petugas pajak nantinya,” kata Prianto dalam keterangan resminya, Rabu (7/4).

Ketika estimasi diskon penjualan dimasukkan sesuai PSAK 72, otomatis penjualan menjadi turun, meski diskon tersebut belum terjadi. Selain itu, saat estimasi bonus ke pelanggan ditambahkan sesuai PSAK 72, walaupun belum direalisasikan, nilai penjualan menjadi bertambah.

Menurut Prianto, semua pihak (otoritas pajak dan wajib pajak) harus kembali ke doktrin realisasi yang dianut oleh UU PPh beserta amandemennya. “Kalau ada yang bertanya dari mana kita tahu bahwa UU PPh menerapkan doktrin realisasi tersebut, kita harus lihat ke perumusan pengertian penghasilan sesuai UU PPh 1983 atau UU No. 7/1983 yang tidak pernah berubah hingga kini” katanya.

“UU PPh di Indonesia ini dirumuskan pada periode 1981-1983, disahkan di 1983, dan berlaku mulai 1 Januari 1984. Pada saat itu, berlaku Prinsip Akuntansi Indonesia 1973 yang mengusung konsep realisasi”, ujar Prianto.

Perubahan UU PPh dengan UU Cipta Kerja tidak mengakibatkan konsep realisasi tersebut berubah. Dasar pertimbangannya adalah orang pribadi atau badan harus membayar pajak sesuai kemampuannya (ability-to-pay principle). “Ini adalah bentuk dari prinsip keadilan pajak dan model pemajakannya adalah realization taxation”, tegas Prianto.

Di dalam konteks perusahaan, doktrin realisasi tersebut berkaitan dengan hak tagih atas penghasilan yang sudah diakui perusahaan. “Kalau belum ada realisasi penghasilan (realizedatau realizable), bagaimana perusahaan harus melunasi utang pajaknya? Utang pajak itu harus dilunasi dengan uang,”  kata Prianto.

Untuk mengurangi potential tax dispute terkait penerapan PSAK 72 di atas, Prianto mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan peraturan yang mengacu pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) No. 94/2010.

Secara tegas, peraturan pemerintah tersebut memberi mandat kepada DJP untuk menerbitkan peraturan yang dapat menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena ada perubahan PSAK. Tujuan penerbitan peraturan DJP tersebut adalah untuk memberi kepastian hukum (legal certainty) bagi perusahaan selaku wajib pajak badan

“PP No. 94/2010 merupakan aturan turunan dari UU PPh sehingga DJP memiliki legal standing untuk memberi penegasan tentang penerapan matching principle dan doktrin realisasi”, tutur Prianto. Dengan demikian, penghasilan dan/atau biaya yang masih bersifat estimasi atau pencadangan tidak diperkenankan untuk tujuan PPh.