PENGAPALAN KOMODITAS : Pemeriksaan Ekspor CPO di Bawah Kendali Bea Cukai

08 March 2019

Bisnis Indonesia  Jum’at, 08/03/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA – Mulai hari ini, ekspor kelapa sawit, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), dan produk turunannya tidak lagi harus disertai dengan dokumen Laporan Surveyor (LS). Sebagai gantinya, pemeriksaan fisik terhadap barang ekspor dilakukan oleh pihak Bea dan Cukai.

Kendati demikian, regulasi yang ber­tujuan meningkatkan akurasi data, perce­patan pelayanan, dan pengawasan kepabeanan atas komoditas CPO dan pro­duk turunannya itu diragukan ber­dampak signifikan terhadap peningkatan ekspor.

Mekanisme pemeriksaan fisik terhadap CPO dan produk turunannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.22/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Ekspor Kelapa Sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya.

Adapun, pemeriksaan fisik barang dapat dilakukan sebelum atau sesudah pemberitahuan barang ekspor (PEB) disampaikan. Pemeriksaan fisik pun dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.

“Bea Cukai yang nantinya akan me­ngecek ,” ujar Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemen­terian Perdagangan Oke Nurwan, Rabu (6/3).

Dia berharap kemudahan yang dihadirkan bagi pelaku industri kelapa sawit itu dapat mendongkrak daya saing ekspor komoditas andalan Tanah Air tersebut karena ada simplifikasi prosedur.

Sementara itu, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mengklaim regulasi baru tersebut menguntungkan pelaku usaha.

Kasubdit Komunikasi dan Publikasi DJBC Deni Surjantoro mengatakan, eksportir mendapatkan dua kemudahan. Pertama, berdasarkan hitungan DJBC, eksportir bisa berhemat Rp100 miliar dalam setahun karena adanya simplifikasi aturan.

Kedua, proses administrasi ekspor makin efisien, karena pemeriksaan fisik hanya berada di otoritas kepabeanan dan tak perlu lagi melibatkan surveyor dalam proses tersebut.

“Itu keuntungan yang didapatkan para eksportir melalui implementasi kebijakan tersebut,” katanya.

Pemerintah berharap melalui kemudahan itu, eksportir dapat memacu kinerja eks­­por CPO dan produk turunannya, se­hingga turut mendukung langkah pe­merintah dalam memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menyambut baik regulasi itu. Dia menilai kebijakan itu sudah tepat karena mempercepat waktu dan mereduksi ongkos ekspor para eksportir.

“Tinggal menambah produk-produk lain yang saat ini masih diharuskan pakai LS, asalkan produknya yang bernilai tambah dan berdampak besar bagi ekspor.”

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan ada ataupun tidak ada kewajiban LS, eksportir CPO akan tetap menggunakan dokumen tersebut.

Pasalnya, LS digunakan para ekspor­tir sebagai dokumen acuan untuk menen­tukan pungutan ekspor. Selain itu, dokumen tersebut digunakan untuk menyelesaikan perselisihan apabila terjadi sengketa perdagangan antara penjual dan pembeli aaupun sesama penjual.

“Penghapusan wajib LS hanya mengu­rangi ‘sakit kepala’ eksportir saja. Tidak ada hubungannya dengan peningkatan ekspor CPO. Kalau pembeli butuh LS, ya otomatis kita harus pakai LS.”

Hal senada diungkapkan oleh ekonom Core Indonesia Mohammad Faisal. Dampak kebijakan tersebut terhadap ekspor CPO sangat kecil, sebab persoalan yang melanda ko­moditas tersebut lebih banyak berasal dari luar negeri, seperti kampanye negatif Uni Eropa dan bea masuk India yang tinggi.

“Dokumen LS ini justru dibutuhkan para eksportir untuk meyakinkan legalitas produknya kepada konsumen di luar negeri. Jadi, kalau tujuan akhirnya untuk membantu kinerja ekspor, sebetulnya kampanye positif CPO dan lobi-lobi ke India jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan pencabutan wajib LS ini,” katanya.

Sementara itu, menyusul pembebasan kewajiban LS untuk komoditas kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya, pemerintah juga telah memutuskan kebijakan serupa untuk komoditas gas melalui pipa.