PENGAWASAN PAJAK Pemeriksaan Didominasi Korporasi

28 March 2023

Dionisio Damara & Tegar Arief
Selasa, 28/03/2023

Bisnis, JAKARTA — Setelah sempat turun, jumlah korporasi yang menjalani pemeriksaan pajak sepanjang tahun lalu terantau meningkat. Data ini menandakan bahwa aktivitas fiskus dalam menguji kepatuhan wajib pajak makin agresif, terutama wajib pajak badan atau korporasi.n

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah wajib pajak badan yang menjalani pemeriksaan pajak pada tahun lalu mencapai 32.427 perusahaan, naik sebesar 9,95% dibandingkan dengan 2021 yang sebanyak 29.491 perusahaan.

Kenaikan ini pun terbilang cukup signifikan setelah pada 2021 jumlah korporasi yang diperiksa oleh petugas pajak mencatatkan penurunan, bahkan berada di level terendah dalam 5 tahun terakhir. (Lihat infografik).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan secara total Ditjen Pajak Kementerian Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap 267.452 wajib pajak dengan nilai Rp193,9 triliun.

“Ini adalah langkah yang dilakukan Ditjen Pajak dari sisi pengawasan dan penegakan hukum,” kata dia, Sein (27/3).

Secara historis, wajib pajak badan selalu dominan dilakukan pemeriksaan dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi. Pada tahun lalu, jumlah pemeriksaan wajib pajak orang pribadi hanya sebanyak 11.371.

Dalam konteks ini, kalangan pelaku usaha memandang peningkatan pemeriksaan merupakan konsekuensi dari sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah.

Anggota Badan Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ajib Hamdani, mengatakan dengan self assessment system maka wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan pajaknya secara mandiri sendiri.

Adapun, pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus itu merupakan salah satu strategi ideal dalam rangka mengukur tingkat kepatuhan wajib pajak terutama korporasi.

“Ditjen Pajak memiliki kewenangan untuk menguji kepatuhan melalui mekanisme pemeriksaan pajak,” katanya kepada Bisnis.

Ajib menambahkan, ada dua jenis pemeriksaan yang sering dihadapi oleh pelaku usaha. Pertama, pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Rugi Lebih Bayar atau apabla mengajukan restitusi.

Kedua, pemeriksaan yang dilakukan atas dasar laporan dari pihak ketiga.

Sejatinya, pemeriksaan bukanlah pilihan utama yang dilakukan petugas pajak dalam menguji kepatuhan ataupun melaksanakan extra effort guna mendulang penerimaan.

Cara lain yang ditempuh adalah dengan mengedepankan konseling yang bersifat persuasif, yakni melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan (SP2DK) sebelum pemeriksaan.

“Jika SP2DK tidak diindahkan, maka proses dilanjutkan dengan pemeriksaan,” kata Ajib.

Sementara itu, Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memandang kenaikan jumlah korporasi yang diperiksa oleh petugas pajak tidak serta-merta mengisyaratkan rendahnya kepatuhan.

Menurutnya, hal ini lebih pada upaya ekstra yang dilakukan oleh pemerintah, dalam konteks ini Ditjen pajak, sehingga dapat mengoptimalisasi penerimaan negara.

“Ini lebih tepat menggambarkan extra effort petugas pajak dalam menggali penerimaan. Dalam hal ini intensifikasi,” katanya.

Memang, pemeriksaan pajak sejauh ini terkesan kurang terstruktur dan tidak fokus. Hal ini disebabkan oleh sistem teknologi yang masih belum sepenuhnya mendukung kinerja petugas pajak.

Fajry menambahkan, pemeriksaan pajak akan optimal apabila pemerintah telah menerapkan Sistem Inti Perpajakan atau Core Tax System yang rencananya diujicoba pada Oktober 2023 dan diterapkan penuh pada Januari 2024.

“Nanti akan ada Core Tax System, jadi pemeriksaan pajak akan fokus ke wajib pajak yang memiliki risiko tinggi. Dengan begitu otoritas bisa mengoptimalkan ekstensifikasi,” jelasnya.

Editor : Tegar Arief