Pengenaan PPh Digital, Pemerintah Diminta Tegas

21 July 2020

Bisnis.com 21 Juli 2020  |  21:03 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta untuk tetap tegas dalam menerapkan kebijakan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perusahaan-perusahaan digital.

“Pemerintah Indonesia perlu lebih tegas bahwa sebagai negara berdaulat berhak untuk menerapkan pajak  bagi perusahaan yang jasanya dinikmati dan dibayar oleh penduduk Indonesia. Apalagi, pajak digital sudah berlaku lama di negara-negara Eropa jadi bukan hal baru yang tidak ada presedennya,” ungkap ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya kepada Bisnis, Selasa (21/7/2020).

Mengutip dari data Bisnis, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengikuti konsensus global terkait dengan kebijakan-kebijakan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perusahaan-perusahaan digital.

Keputusan tersebut tertera dalam komentar tertulis Pemerintah Indonesia kepada pemerintah Amerika Serikat atas investigasi yang dilakukan pihak Negeri Paman Sam atas pajak pelayanan digital yang sempat mencuat ke publik beberapa waktu lalu.

“Indonesia kembali mengafirmasi komitmen untuk mengikuti konsensus global. Implementasi pajak transaksi elektronik pun masuk ke dalam konsensus global. Indonesia terbuka untuk melakukan dialog dengan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk pembahasan kebijakan tersebut. Konklusi positif dari investigasi ini adalah langkah penting atas upaya yang sedang ditempuh,” ujar pihak pemerintah Indonesia dalam keterangan resmi yang diperoleh Bisnis, Selasa (21/7/2020).

Berly mengatakan bahwa langkah tersebut sudah tepat untuk dilakukan pemerintah, yakni fokus terhadap pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari perusahaan digital di luar negeri.

Pemerintah sudah benar dengan fokus ke PPN dulu yang jelas transaksi dan kewajiban pajaknya. Jadi, setidaknya harus bayar PPN 10 persen atas barang atau jasa yang dijual dan kalau [perusahaan digital tersebut] berbadan hukum di Indonesia harus bayar PPh badan sesuai regulasi yang berlaku di Indonesia,” tuturnya

Adapun menurut Berly bahwa untuk dapat menarik PPh dari perusahaan-perusahaan over the top (OTT) asing, pemerintah bisa membuat merkeka agar mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, tetapi dia melihat bahwa itu merupakan langkah selanjutnya setelah selesai dengan urusan PPN. bisa dilakukan.

“Menurut saya mendorong perusahaan digital untuk bangun BUT sebagai langkah kedua, yang pertama kejar PPN dulu, [karena] yang lebih jelas kewajiban pajaknya di PPN,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan terdapat 2 hal yang menguntungkan Indonesia dalam kaitannya dengan hal tersebut, yakni jumlah pengguna internet yang mencapai 180 juta orang, dan nilai investasi mendirikan BUT yang dkatakan tidak terlalu mahal.

“Mengapa perusahaan OTT asing layak mendirikan BUT di Indonesia? Karena pengguna internet di sini mencapai 180 juta. Dengan demikian, Indonesia bukan pasar yang main-main. Mendirikan BUT pun hanya Rp15 – 20 juta. Jadi, tidak perlu investasi besar-besaran,” tekannya.

Selain itu, lanjut Heru, perusahaan OTT asing tidak akan merugi jika mendirikan BUT di Indonesia. Pasalnya, dengan adanya Badan Usaha Tetap, maka berbagai macam urusan mulai dari yang berkaitan dengan pemerintah hingga pendekatan ke penyedia jaringan (operator seluler) menjadi lebih mudah.

Selanjutnya, kata Heru, dengan adanya pemasukan negara dari penerapan PPh terhadap OTT asing juga akan mendukung proses bisnis perusahaan-perusahaan terkait yang beroperasi di Indonesia.

Pemanfaatan penerimaan pajak dapat dialokasikan untuk memperluas jaringan sehingga layanan-layanan yang disediakan oleh Netflix dan kawan-kawan mampu diakses hingga ke pelosok negeri ketika pajak yang dibayarkan difungsikan untuk mendukung ekosistem bisnis terkait.