Pengusaha Nggak Kompak Soal Tax Amnesty Jilid II

15 August 2019

detikFinance, Kamis, 15 Agu 2019 07:12 WIB

 

Jakarta – Wacana tax amnesty jilid II menuai pro-kontra bahkan di kalangan sesama pengusaha. Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia adalah yang memunculkan wacana tersebut.

Kadin menilai banyak pengusaha yang menyesal tak ikut tax amnesty jilid pertama sehingga dirasa perlu ada tax amnesty jilid II. Namun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) keberatan dengan wacana itu.

Apindo menganggap tax amnesty jilid bisa menimbulkan ketidakadilan antara pengusaha yang selama ini sudah patuh pajak dan yang belum patuh. Lantas seperti apa pro-kontra yang terjadi?

Berikut informasi selengkapnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan banyak pengusaha nasional yang menyesel tidak ikut program tax amnesty jilid pertama. Pengusaha berharap adanya program tax amnesty jilid II.

“Memang kami mendapat masukan dari teman-teman pengusaha besar dan menengah kalau tax amnesty II apakah diadakan kembali,” kata Rosan saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

“Karena tax amnesty I banyak yang masih ragu-ragu dan sekarang menyesal tidak ikut karena manfaatnya sangat baik terutama di tengah era keterbukaan ini,” tambahnya.

Menurut Rosan, banyak rekan pengusahanya di tanah air yang belum mengikuti tax amnesty periode Juli 2016 sampai Maret 2017.

Oleh karena itu, jika pemerintah benar akan melaksanakan kembali program pengampunan pajak jilid II, maka akan dimanfaatkan oleh para pengusaha.

“Karena sekarang para pengusaha sudah yakin dan melihat azas manfaatnya sehingga dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi di TA jilid II,” ujarnya.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tax amnesty jilid 2 bisa menciptakan ketidakadilan bila dilaksanakan. Pengusaha yang selama ini sudah patuh bakal merasa dikhianati oleh pemerintah.

Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyapratama mengatakan, selama ini pengusaha yang sudah patuh dan ikut serta dalam tax amnesty telah mengungkapkan (disclosure) hartanya ke pemerintah. Sementara yang tak patuh masih menutup-nutupi hartanya.

“Yang sudah patuh, jangan dikhianati kepercayaannya juga. Kan sudah patuh, tadinya tidak mau disclosure sekarang disclosure. Tiba-tiba sekarang melihat yang di sana bisa diampuni, itu bisa menimbulkan unfairness,” kata dia dalam diskusi di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, Rabu (14/8/2019).

Jika itu dilakukan, pemerintah tidak akan menciptakan level playing field, yaitu kesempatan berusaha yang sama kepada pelaku usaha satu dengan lainnya. Pasalnya pelaku usaha yang sudah patuh dan ikut tax amnesty sudah masuk sistem dan dipantau oleh pemerintah, sementara yang belum bebas dari pantauan pemerintah.

“Kita juga yang di dalam sistem kami sudah patuh terus nanti akhirnya kita yang merasa, kita merasa dikejar-kejar, intensifikasi, dan sementara yang di luar bebas berkeliaran,” jelasnya.

Menurutnya ada cara lain yang bisa dilakukan agar menambah pengusaha yang masuk ke dalam sistem informasi perpajakan. Caranya tak harus melalui tax amnesty jilid II. Salah satunya, tambah dia, pengusaha bisa melakukan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) hartanya.

Tax amnesty jilid II dinilai malah akan membuat wajib pajak yang sudah taat menjadi tidak patuh membayar pajak alias mangkir. Pasalnya akan muncul anggapan bahwa tax amnesty bisa digelar lagi sewaktu-waktu, tak cuma sekali.

“Akan memunculkan moral hazard, memunculkan harapan baru kalau ada tax amnesty kedua, ada tax amnesty ketiga, bisa mengubah perilaku. Yang tadinya disiplin ngapain disiplin,” kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam dalam diskusi di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, Rabu (14/8/2019).

Tax amnesty, lanjut dia memang bisa meningkatkan basis pajak. Namun dari tingkat kepatuhan akan berkurang. Untuk jangka panjang menurutnya itu tak bagus bagi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak.

“Kalau dia diberikan (tax amnesty) berulang, yang tadinya basis pajaknya bisa lebih luas, tapi tingkat kepatuhannya lebih rendah,” jelasnya.