Pengusaha Protes ke Sri Mulyani soal Baju Impor Kena Ekstra Bea Masuk

18 November 2021

CNN Indonesia
Rabu, 17 Nov 2021

Jakarta, CNN Indonesia — Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) memprotes kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengenakan ekstra bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) bagi pakaian dan aksesoris impor berkisar Rp19.260 sampai Rp63 ribu per potong mulai 12 November 2021.
Kebijakan itu tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesori Pakaian.

“Pemerintah ini suka tidak mikir sih ya kalau buat kebijakan. Kebijakannya suka kurang evaluasi, sehingga ketetapannya sering tidak kena dengan tujuan yang diinginkan,” ungkap Ketua Umum Apregindo Handaka Santosa kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/11).

Handaka menjelaskan protes ini muncul karena pengusaha merasa kebijakan baru ini sangat menambah beban dan berpotensi menggerus pendapatan mereka cukup dalam. Tanpa ekstra bea masuk saja, sambung Handaka, pihaknya sudah dibebankan dengan pungutan yang banyak dari negara.

Pertama, bea masuk garmen sebesar 25 persen. Kedua, pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Ketiga, pajak penghasilan 7,5 persen sampai 10 persen. Keempat, biaya surveyor 1 persen sampai 2 persen.

“Jadi tanpa BMTP saja sudah 45 persen. Lalu mau ditambah BMTP? Ya tentu orang-orang nanti larinya ke jastip (jasa titip) yang tidak kena PPN dan penyelundupan akan marak,” ujarnya.

Jika ditambah lagi dengan ekstra bea masuk, maka total pungutan kepada pengusaha akan mencapai 70 persen. Hal ini tentu akan menggerus pendapatan dan keuntungan pengusaha karena menaikkan harga baju kepada konsumen dinilai tidak bisa semudah itu.

Pasalnya, lonjakan harga akan menimbulkan inflasi. Padahal, minat dan daya beli masyarakat pada produk ritel pakaian belum benar-benar pulih akibat tekanan pandemi covid-19.

Selain itu, hal ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat enggan membeli barang bermerek yang selama ini diimpor secara legal dan memberi sumbangan pajak kepada negara. Ujungnya, volume penjualan pun dikhawatirkan bakal ‘terjun payung’.

Alhasil, ia melihat kebijakan ini mau tidak mau harus membuat pengusaha mengalah dan ‘putar otak’ dengan melakukan efisiensi. Namun, dampaknya tentu tidak menyenangkan bagi pegawai hingga perekonomian.

“Kalau volume penjualan turun, tentu mengurangi outlet dan ujung-ujungnya toko di mal ditutup, kurangi karyawan, dan tidak bayar sewa. Pemerintah juga akan kehilangan pendapatan negara (dari pajak ritel pakaian),” ucapnya.

Untuk itu, ia meminta agar Sri Mulyani mau mendengarkan keluhan mereka. Permintaan ini turut disampaikan melalui surat y bernomor 007/KU/Ext/XI/2021 tertanggal 9 November 2021 yang dikirimkan asosiasi ke bendahara negara.

“Kami menghormati sepenuhnya keputusan pemerintah atau menteri keuangan tentang BMTP, namun dengan fakta dan masukan kami, diharapkan agar Ibu Menteri Keuangan dapat mempertimbangkan untuk dilakukan penundaan pelaksanaan PMK 142/PMK.010/2021,” tuturnya dalam surat tersebut.

Salah Sasaran
Handaka memahami beleid itu dilatarbelakangi semangat untuk melindungi produk ritel lokal agar bisa bersaing di dalam negeri.

Kendati demikian, menurut Handaka cara pemerintah salah. Pasalnya,’musuh’ produk ritel lokal sejatinya bukan baju impor bermerek tetapi pakaian dari luar negeri yang diimpor secara massal. Bahkan, terkadang secara ilegal sehingga harganya sangat murah di pasar.

“Yang masalah itu kan impor barang atau garmen murah yang kemudian dijual misalnya di Tanah Abang itu jilbab bisa Rp10 ribu doang, itu yang jadi problem bagi garmen lokal, bukan kami yang baju impor merek mahal. Jadi kebijakannya ibarat mau membunuh babi hutan, tapi yang dilakukan malah bakar hutannya, salah,” katanya.

Selain salah cara, ia menilai kebijakan ini juga akan membuat dampak negatif berupa pertumbuhan bisnis jastip dan penyelundupan baju impor. Padahal, jastip sama sekali tidak memberikan pungutan PPN kepada negara.

Sementara penyelundupan baju impor, akan membuat pasar kelas menengah ke bawah tetap dibanjiri oleh impor barang-barang murah dari luar negeri. Artinya, akan tetap membuat produk ritel lokal tersaingi.

“Konsumen kelas menengah pun akan lebih pilih belanja ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Thailand, karena di sana produknya lengkap dan harga lebih murah,” pungkasnya.