PGAS Siap Cicil Tunggakan Pajak Rp 3,06 Triliun

03 February 2021

03 February 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menyebutkan akan  mengajukan permohonan mencicil pembayaran denda keterlambatan pajak senilai Rp 3,06 triliun kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini berkaitan dengan PPN Gas Bumi untuk periode tahun 2012 dan 2013.

Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan perusahaan, manajemen PGAS menyebutkan kasus perpajakan tersebut membutuhkan cash flow yang cukup besar. Karena itu perusahaan akan mengusahakan untuk menyampaikan permohonan pembayaran secara angsuran/cicilan ke DJP.

Sedangkan untuk operasional, perusahaan saat ini masih memiliki fasilitas standby loan yang mencukupi, sehingga kegiatan operasional masih dapat berjalan dengan baik.

 

Pembayaran ini harus dilakukan setelah perusahaan menerima salinan Putusan Mahkamah Agung (MA) secara resmi dari Pengadilan Pajak untuk 9 perkara pajak yang terdiri dari lima perkara pajak terkait PPN Gas Bumi untuk periode tahun 2012, tiga perkara pajak untuk periode 2013 dan satu perkara pajak terkait Pajak Lainnya untuk periode tahun 2012.

Selain bersiap untuk membayar secara mengangsur, perusahaan juga tengah melakukan evaluasi dan kajian internal untuk meminta proses permohonan Peninjauan Kembali kepada MA.

Selain itu, perusahaan juga sedang melakukan kajian upaya-upaya lainnya dengan memperhatikan kepentingan terbaik.

“Potensi denda terkait dengan 49 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang perkaranya diajukan oleh DJP sebagai Pemohon Peninjauan Kembali (PK) ke MA adalah sebesar Rp. 3,06 triliun,” kata manajemen, dikutip Rabu (3/2/2021).

Sebelumnya, berkaitan dengan hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bakal melakukan pembicaraan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menyelesaikan sengketa pajak yang terjadi antara PGAS dan DJP.

Saf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan sengketa ini sudah berlangsung cukup lama dengan proses peradilan pertama, PGN memenangkan kasus tersebut. Namun saat kasus tersebut telah masuk ke Mahkamah Agung (MA) justru perusahaan diwajibkan untuk membayarkan pajak ini.

“Langkah yang akan kami lakukan adalah ada 2, yang pertama kami akan bicarakan hal ini ke Kementerian Keuangan karena mereka sudah mengakui bahwa ini bukanlah objek pajak. Jadi KBUMN akan melakukan pembicaraan dengan Kemenkeu,” kata Arya di Jakarta, Senin (4/1/2021).

“Kedua, kita juga akan melihat nantinya yang namanya putusan ada berapa lagi kasus yang mirip. Nanti dengan dasar keputusan tersebut maka kami akan minta untuk PGN melakukan langkah hukum, misalnya PK 2 dan itu memungkinkan karena sudah diakui bahwa ini bukanlah objek pajak,” terangnya.