PKP2B jadi IUPK, risiko dari beban perpajakan semakin besar

11 February 2021

Kamis, 11 Februari 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Perubahan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Kelanjutan Operasi membawa konsekuensi adanya peningkatan penerimaan negara.

Rezim perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk IUPK eks PKP2B pun bakal berubah. Selain terjadi kenaikan tarif pada sejumlah komponen pajak dan PNBP, perubahan ini pun membawa risiko beban perpajakan yang lebih tinggi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menjelaskan, dalam rezim Kontrak Karya (KK) dan PKP2B, sepanjang kontrak 30 tahun rezim perpajakan memakai skema nail down. Artinya, tarif dan jenis pajaknya tetap sejak KK/PKP2B ditandatangani sampai masa kontrak berakhir.

Saat masa KK/PKP2B berakhir dan diperpanjang menjadi IUPK Kelanjutan Operasi, rezim perpajakan berubah mengikuti ketentuan yang berlaku secara umum atau prevailing laws. Syarat adanya peningkatan penerimaan negara yang lebih tinggi juga telah dikunci dalam renegosiasi PKP2B sebagaimana Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Secara umum aspek peningkatan penerimaan negara sebenarnya sudah terpenuhi, tertutupi dengan hasil renegosiasi PKP2B sesuai dengan amanat UU 4/2009 dan perubahannya yang keseluruhan prosesnya sudah selesai akhir tahun 2017,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (10/2).

Ketika status PKP2B berganti IUPK, secara umum skema pajak nail down pun berakhir. Ada sejumlah penyesuaian pada komponen penerimaan negara.

Sebagai gambaran, akan ada penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang semula 45% menjadi sesuai prevailing laws sebagaimana peraturan yang berlaku secara umum, yaitu 22% untuk tahun 2021 dan menjadi 20% mulai tahun 2022.

“Tentu komponen penurunan tarif PPh Badan ini berdampak menurunkan penerimaan negara,” kata Hendra.

Namun, kenaikan terjadi pada komponen penerimaan negara yang lainnya. Misalnya, dalam UU Minerba  UU No. 4 2009 maupun yang terbaru UU No. 3 Tahun 2020, terdapat pengenaan pajak baru dengan total 10% dari laba setelah pajak. Terdiri dari 4% PNBP (pusat) dan 6% penerimaan daerah.

“Ini jenis pungutan baru yang akan meningkatkan penerimaan negara,” ujar Hendra.

Lalu, ada perubahan beban PBB pertambangan yang semula lumpsum menjadi sesuai prevailing laws, yang mana berdampak pada kenaikan 3-5 kali beban sebelumnya, sehingga meningkatkan penerimaan negara.

Selanjutnya, ada juga Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang semula dapat dikompensasi dengan dana hasil produksi batubara (DHPB)/royalti, menjadi tidak dapat dikompensasikan. Dengan begitu, komponen ini pun meningkatkan penerimaan negara.

Dari sisi royalti pun terjadi kenaikan tarif. Dalam informasi yang diterima APBI, sempat ada wacana tarif royalti akan berubah dari sebelumnya 13,5% menjadi 15% atau 22%, 24%, bahkan hingga 26%. Tarif royalti itu dikenakan atas penerimaan kotor (gross revenue) perusahaan.

Namun, pelaku usaha pun mengusulkan tarif royalti progresif dengan mengacu pada index Harga Batubara Acuan (HBA). Ada empat rentang yang diusulkan. Pertama, jika harga di bawah US$ 70 per ton maka tarif royalti yang dikenakan untuk domestik sebesar 14%, begitu juga untuk ekspor.

Kedua, jika harga dalam rentang US$ 70-US$ 80 per ton, maka royalti untuk domestik diusulkan 14%, dan 16% untuk ekspor. Ketiga, saat harga US$ 80-US$ 90 per ton, royaltinya 14% untuk domestik dan 18% untuk ekspor.

Keempat, jika harga di atas US$ 90 per ton maka royalti untuk domestik dikenakan 14% dan 20% untuk ekspor. Artinya, tarif untuk pasokan domestik diusulkan flat di angka 14%, sedangkan untuk ekspor berjenjang sesuai harga hingga dari 14% hingga 20%.

Menurut Hendra, dengan simulasi tersebut akan ada peningkatan penerimaan negara sekitar 4%-7% dari IUPK hasil perpanjangan operasi PKP2B. Dibandingkan tarif royalti PKP2B sekarang yang sebesar 13,5%.

“Ya, itu kami punya simulasi internal. Pemerintah juga punya hitungan dan simulasinya. Pemerintah yang punya wewenang untuk memutuskan,” ungkap Hendra.

Simulasi tersebut sudah mempertimbangkan tingkat produksi, stripping ratio, maupun karakteristik masing-masing tambang. “Makanya hasil simulasi ada range. Misal dari perusahaan ini hasil simulasi dengan tarif begini kenaikan penerimaan negara 4%, yang itu bisa 6%-7% dengan asumsi tersebut,” terangnya.

Secara umum, sambung Hendra, dengan konversi PKP2B menjadi IUPK, maka aspek kepastian perpajakan (tax stability) yang selama ini terproteksi dalam rezim PKP2B menjadi hilang.

Sehinga, Hendra bilang bahwa faktor risiko (uncertainty) dari beban-beban perpajakan seperti PNBP dari berbagai sektor dan pajak serta retribusi daerah yang sering berubah, kedepannya akan semakin besar.

Padahal, salah satu pertimbangan utama dari para investor khususnya di sektor pertambangan adalah adanya faktor kepastian, termasuk stabilitas perpajakan.

“Mengingat sektor pertambangan karakteristiknya berisiko tinggi dan jangka panjang serta rentan dengan perubahan risiko kebijakan atau politik,” pungkas Hendra.