PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA Investasi Tax Amnesty Cekak

31 March 2023

Tegar Arief
Kamis, 30/03/2023

Bisnis, JAKARTA — Realisasi investasi harta hasil deklarasi Program Pengungkapan Sukarela alias Tax Amnesty Jilid II pada instrumen Surat Berharga Negara masih amat terbatas, kendati batas waktu penempatan investasi itu hanya menyisakan 6 bulan.

Faktanya, komitmen investasi dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir pada 30 Juni tahun lalu itu senilai Rp22,35 triliun.

Adapun, per Maret 2023 Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat total realisasi investasi peserta PPS hanya sekitar Rp8,5 triliun.

Angka tersebut terdiri dari penempatan di Surat Berharga Negara (SBN) dalam mata uang rupiah senilai Rp6,75 triliun, sementara dengan mata uang Amerika Serikat (AS) di angka US$111,1 juta.

Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengingatkan kepada seluruh peserta PPS untuk segera menempatkan asetnya pada instrumen yang disediakan oleh pemerintah.

Sejalan dengan itu, pemangku kebijakan pun setiap bulan menawarkan SBN khusus untuk PPS melalui mekanisme private placement, baik dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) ataupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

“Wajib pajak peserta PPS dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berinvestasi di SBN sampai batas waktu September 2023,”kata Suminto kepada Bisnis, Rabu (29/3).

Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, penempatan aset yang dilakukan oleh peserta PPS seluruhnya berada di instrumen surat utang.

Dengan demikian, tak ada dana yang masuk pada investasi riil kendati pemerintah telah memberikan keleluasaan dan keberagaman sektor untuk menampung dana hasil program pengampunan tersebut.

Ketentuan itu termuat di dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 52/KMK.010/2022 tentang Kegiatan Usaha Sektor Pengolahan Sumber Daya Alam dan Sektor Energi Terbarukan Sebagai Tujuan Investasi Harta Bersih dalam Rangka Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Regulasi itu memperluas sektor usaha yang bisa dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk mengembangkan harta yang telah diungkap dalam program pengampunan.

Sekadar informasi, di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, dijelaskan bahwa instrumen investasi penampung dana repatriasi yang disediakan adalah Surat Berharga Negara (SBN) dan penghiliran sumber daya alam (SDA) atau energi terbarukan.

KMK No. 52/2022 memang masih mengakomodasi kedua jenis investasi itu. Akan tetapi secara terperinci pemerintah memperluas cakupan penampung dana repatriasi, bahkan di luar penghiliran SDA maupun energi terbarukan.

Di sisi lain, tak semua harta yang diungkap oleh peserta PPS direpatriasi ke Tanah Air. Bisnis mencatat, hanya Rp16,05 triliun harta yang dipulangkan ke dalam negeri, sedangkan Rp60,1 triliun hasil deklarasi luar negeri tetap tak berpindah.

Sepinya minat repatriasi maupun investasi ini menjadi salah satu cacat dalam program pengampunan pajak tersebut.

HOLDING PERIOD

Dalam kaitan ini, kalangan pemerhati pajak memandang terbatasnya opsi investasi serta holding period yang lebih lama dibandingkan dengan Tax Amnesty 2016 mendorong peserta untuk tidak melakukan investasi atau repatriasi dalam PPS.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono menilai skema repatriasi memang kurang menarik minat peserta pengampunan pajak karena imbal hasil dari investasi yang disediakan amat kecil.

Menurutnya, SBN memang memberikan imbal hasil yang pasti dan risiko rendah. Akan tetapi, holding period yang diwajibkan pemerintah terlampau lama, yakni 5 tahun. Artinya, selama 5 tahun peserta tidak diperkenankan untuk menarik dananya dari instrumen investasi tersebut.

Pemerintah memang memberikan kesempatan bagi peserta untuk memindahkan aset investasi yang dipilih. Namun, hal itu tidak mengubah ketentuan mengenai holding period.

Prianto menambahkan, PPS juga tidak memiliki efek kejut pada penerimaan negara mengingat mayoritas peserta berasal dari kalangan karyawan. “Performa PPS dari perspektif penerimaan pajak memang jauh dari benchmark Tax Amnesty 2016,” ujarnya.

Sekjen Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhi kepesertaan, repatriasi hingga penempatan harta pada instrumen investasi.

Di antaranya faktor ekonomi yang masih tertekan. Apalagi, program tersebut digulirkan ketika ekonomi nasional masih berkutat pada pandemi Covid-19 yang memukul dunia usaha.

Selain itu, tarif yang ditetapkan oleh pemerintah pun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan program serupa pada 2016 silam.

Sekadar membandingkan, dalam Tax Amnesty 2016 rentang tarif atas denda Pajak Penghasilan (PPh) di kisara 2%—10%, sementara tarif PPh Final dalam PPS mencapai 6%—18%. “Dari sisi tarif memang berat,” katanya.

Editor : Tegar Arief