RANCANGAN KEBIJAKAN 2022, Tarif Pajak Pertambahan Nilai Naik

04 May 2021

BisnisIndonesia, Selasa, 04/05/2021 02:00 WIB
Bisnis, JAKARTA — Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai sejalan dengan
menyempitnya sumber penerimaan negara lantaran ekonomi tertekan oleh pandemi Covid-19 sejak
tahun lalu. Kenaikan tarif ini rencananya akan diberlakukan pada tahun depan.n
Rancangan kebijakan tersebut tertuang di dalam rencana kerja Kementerian Keuangan untuk tahun
anggaran 2022.
Dalam dokumen perencanaan yang diperoleh Bisnis, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang
digaungkan pemerintah.
Arah dari konsolidasi fiskal tersebut adalah mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap
produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Salah satu strategi yang dilakukan adalah melalui reformasi
perpajakan.
Kementerian Keuangan mencatat, reformasi perpajakan dilakukan dengan sehat, adil, dan kompetitif
melalui inovasi penggalian potensi untuk peningkatan tax ratio dan menciptakan sistem perpajakan yang
sejalan dengan struktur perekonomian.
“ melakukan perluasan basis perpajakan antara lain e-commerce, cukai plastik, menaikkan tarif PPN,”
tulis dokumen Kementerian Keuangan yang dikutip Bisnis, Senin (3/5).
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8/1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah memang bisa
mengubah besaran tarif PPN.
UU itu mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5% dan paling tinggi adalah 15%.
Adapun tarif yang berlaku pada saat ini adalah sebesar 10%. Artinya, tarif baru nanti kemungkinan
berkisar antara 11%—15%.
Adapun perubahan tarif tersebut akan diakomodasi dalam regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, sejumlah pejabat di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tidak menjawab pertanyaan yang
disampaikan Bisnis terkait dengan pertimbangan dan analisa rencana kenaikan tarif PPN ini.
Pun dengan sejumlah pejabat di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang tidak memberikan jawaban
terkait dengan Peraturan Pemerintah yang disiapkan untuk mengakomodasi kenaikan tarif itu.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, rencana
pemerintah ini mengikuti tren global di mana banyak negara tengah menaikkan tarif PPN.“Kenaikan ini sebagai kompensasi penurunan tarif Pajak Penghasilan Badan,” kata dia saat dihubungi
Bisnis.
Hanya saja dia menyarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan momentum kenaikan tarif.
Jika kebijakan ini dieksekusi dalam waktu dekat, maka ekonomi akan terganggu karena tarif PPN
berdampak langsung pada konsumsi.
Dengan kata lain, kenaikan tarif PPN akan diikuti dengan naiknya harga jual barang yang dibeli oleh
konsumen. Di tengah lesunya konsumsi akibat lemahnya daya beli ini, kebijakan menaikkan tarif PPN
memang sedikit kurang populis.
“Secara umum, memang banyak negara yang berhasil menaikan tarif PPN tanpa mengorbankan
ekonomi dan mampu menaikkan penerimaan pajak. Tetapi waktu yang tepat adalah kunci utamanya,”
kata dia.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan, PPN memang menjadi
salah satu tulang punggung pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak.
Akan tetapi menurutnya, kenaikan tarif ini tidak secara langsung mengerek penerimaan negara karena
PPN berkaitan langsung dengan konsumsi atau penjualan barang di pasaran.
Dengan kata lain, jika tarif yang dikenakan cukup tinggi maka masyarakat akan mengurangi konsumsi
sehingga berdampak pada terbatasnya akselerasi penerimaan pajak dari sektor ini
“PPN ini dibayar oleh semua golongan, dan saat ini kondisi sedang sulit jadi ini tidak akan berdampak
besar pada penerimaan dan penekanan defisit,” ujarnya.
Porsi PPN dalam penerimaan negara memang cukup besar. Per 31 Maret 2021, penerimaan PPN dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp96,89 triliun dan menjadi penyumbang
terbesar kedua dalam struktur pajak setelah PPh Nonmigas yang tercatat senilai Rp120,72 triliun