RAPBN 2023 Hasrat Tinggi Pajak Konsumsi

15 September 2022

Tegar Arief & Wibi Pangestu Pratama
Kamis, 15/09/2022

Bisnis, JAKARTA — Lonjakan inflasi, penggerusan daya beli, hingga luasnya rembetan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak seolah tak menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun postur fiskal 2023. Hal itu tecermin dari naiknya target penerimaan pajak atas konsumsi masyarakat pada tahun depan.n

Berdasarkan postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang disepakati Panitia Kerja (Panja) Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan Rp743 triliun.

Angka tersebut naik sebesar 0,39% atau Rp2,9 triliun dibandingkan dengan target yang tertuang di dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2023 sebelumnya yakni senilai Rp740,1 triliun.

Sepintas lalu, kenaikan tersebut memang sangat kecil. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan outlook penerimaan PPN pada tahun ini yang berada di angka Rp599 triliun, target terbaru melesat hingga 24,04%.

Dalam kaitan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa target penerimaan pajak pada tahun depan berpijak pada asumsi maksimalnya normalisasi ekonomi.

Menurutnya, PPN menjadi salah satu jenis pajak yang berpotensi besar untuk mencatatkan pemulihan pada tahun depan.

“ memotret unsur dari perekonomian yang relatif lebih stabil. Kenaikan karena PPN dan size ekonomi,” kata Sri Mulyani, Rabu (14/9).

Dia menambahkan, faktor lain yang akan mendorong optimalisasi PPN adalah implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang salah satunya melegalisasi kenaikan tarif dari 10% menjadi 11%.

Jiak ditelisik lebih dalam, optimisme pemerintah terhadap prospek pajak atas konsumsi itu terlampau ambisius. Musababnya, data menunjukkan bahwa sejatinya penerimaan PPN tak terlalu prima pada tahun ini.

Sejumlah indikator pun memotret bahwa PPN menghadapi tantangan yang berat, baik pada tahun ini ataupun tahun depan.

Pertama, Kementerian Keuangan menetapkan outlook setoran PPN pada tahun ini hanya Rp599 triliun, jauh di bawah target yang tertuang dalam APBN 2022 Perubahan senilai Rp639 triliun.

Data tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya otoritas fiskal pesimistis untuk berhasil mencapai target penerimaan pajak dari sektor ini seiring dengan tekanan daya beli masyarakat.

Kedua, pertumbuhan target PPN dalam APBN 2023 dibandingkan dengan outlook 2022 yang mencapai 24,04% terbilang amat tinggi.

Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan Bisnis, setidaknya dalam 5 tahun terakhir kinerja PPN paling maksimal hanya mampu mencatatkan kenaikan sebesar 22,23%, yakni pada tahun lalu. (Lihat infografik).

Ketiga, efektivitas UU HPP yang terbatas. Hal itu terefleksi dalam realisasi penerimaan PPN sejak regulasi sapu jagat di bidang perpajakan itu dirilis.

Bisnis merekam, penerimaan PPN sejak implementasi UU HPP hingga Juli lalu hanya Rp21,1 triliun, padahal tarif telah naik dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022.

Keempat, banyaknya fasilitas pembebasan atau pengecualian dalam PPN yang menggerogoti potensi penerimaan. Ini pun telah tecermin berdasarkan realisasi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak pada semester I/2022.

Bisnis menghitung, potensi penerimaan PPN pada April—Juni 2022 mencapai Rp278,56 triliun, dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga senilai Rp2.532,4 triliun dan tarif PPN 11%.

Adapun, realisasi setoran PPN pada periode tersebut hanya Rp170,75 triliun, sehingga kemampuan pungut yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collectio ratio pada kuartal II/2022 hanya 61,29%.

Singkat kata, pemerintah hanya mampu memungut 61,29% dari total potensi pajak atas konsumsi masyarakat pada 3 bulan kedua tahun ini. Artinya, ada banyak potensi pajak yang tidak terpungut.

Capaian itu pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I/2022 yang kala itu VAT gross collection ratio tercatat menyentuh angka 85,99%.

HARGA BBM

Pada dasarnya, pemerintah pun menyadari besarnya dampak harga BBM terhadap inflasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan memprediksi inflasi pada 2022 lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Dia pun mendorong peran dan kontribusi pemerintah daerah untuk secara bersama-sama mengatasi dan mengantisipasi kenaikan inflasi ke depan.

“Kita harus siap-siap angka inflasi akan sedikit lebih tinggi dibadingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi,” kata dia.

Airlangga menyampaikan, kenaikan harga BBM diperkirakan akan mengerek inflasi pada kisaran 1,6%—2% dari target yang ditetapkan pemerintah yakni 3,5%—4,5%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menambahkan, daya beli masyarakat sejauh ini masih cukup lunglai, tecermin dari tingkat inflasi inti yang masih berkutat di level 3%.

Oleh karena itu, pengendalian inflasi pada komponen harga yang diatur pemerintah dan harga bergejolak menjadi faktor yang penting, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat.

“Yang harus dilakukan mengendalikan dampak rambatan dari penyesuaian harga Pertalite dan Solar ke tarif angkutan. Jika bisa dikendalikan, dampak ke harga lain yg mempengaruhi daya beli bisa dikendalikan,” katanya.

Berkaca pada kuatnya tekanan inflasi akibat penaikan harga BBM itu, kalangan pemerhati pajak memandang kondisi tersebut menjadi kendala dalam mengoptimalisasi setoran PPN.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, penyesuaian harga BBM berkorelasi erat pada melesatnya indeks harga konsumen (IHK) sehingga berimplikasi pada seretnya setoran pajak dari konsumsi masyarakat.

“Jika konsumsi tertekan karena inflasi yang tinggi. tentunya akan menekan kinerja penerimaan PPN,” ujarnya.

Senada, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa katalis yang mampu mendorong penerimaan PPN amat terbatas, baik pada sisa tahun ini maupun tahun depan.

Dia menjelaskan, ada dua objek transaksi yang menjadi kunci dari penerimaan PPN. Pertama, konsumsi dalam negeri berupa transaksi barang atau jasa alias PPN dalam negeri. Persoalannya, prospek PPN dari dalam negeri dihantui oleh besarnya dampak inflasi yang hingga kini belum berhasil tertangani dengan baik.

Kedua, PPN yang bersumber dari importasi barang kena pajak (BKP). Ini pun sejatinya tak terlalu baik mengingat adanya kendala dari aktivitas impor seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah.

“Kedua hal tersebut berakibat kedua jenis objek PPN tidak meningkat sesuai ekspektasi sehingga setoran PPN juga tidak meningkat signifikan signifikan,” jelasnya.

Perihal implementasi UU HPP, menurut Prianto tak cukup mampu mengatrol setoran pajak dari konsumsi mengingat perluasan objek PPN terkendala oleh banyaknya fasilitas pembebasan. ^(Maria Elena)

Editor : Tegar Arief