Rasio pajak bertumpu pada pemulihan ekonomi

27 July 2020

Kontan, Senin, 27 Juli 2020 / 18:07 WIB

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Rasio pajak atau tax ratio ke depan akan tergantung pada pemulihan ekonomi dalam negeri. Secara berkelanjutan, penerimaan negara akan tumbuh apabila ekonimi kembali sehat.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat perkembangan rasio pajak tahun 2019 sebesar 9,76% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah setidaknya sejak empat tahun terakhir yakni 2018 (10,24%), 2017 (9,89%), 2016 (10,36%), 2015 (10,76%). Sementara itu, di tahun 2020 prediksi Kemenkeu di level 9,1%, lalu di 2021 berkisar di rentang 8,25%-8,63%.

Sementara itu, data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya yang berjudul Revenue Statistics Asian and Pasific Economies menungkapkan, rasio pajak Indonesia cenderung stagnan pada 2007-2018. Bahkan, merupakan salah satu yang terendah se-Asia-Pasifik.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, rasio pajak merupakan masalah struktural setiap tahun. Terlebih, di tahun ini dampak corona virus disease (Covid-19) telah menggerus penerimaan perpajakan.

Kata Febrio, kondisi tax ratio Indonesia terjadi karena pertumbuhan penerimaan perpajakan lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi secara nominal. Sebab, di saat ekonomi baru tumbuh, penerimaan negara butuh waktu beberapa bulan agar bisa menyerap dampak dari pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Febrio mengakui, masalah terbesar dari penerimaan pajak adalah basis pajak yang tidak tumbuh, bahkan cenderung tidak bertambah. Sehingga, di saat ekonomi tumbuh malah bertolak belakang dengan perkembangan masyarakat yang menjadi wajib pajak patuh.

“Ini bukan hal yang gampang ini sudah terjadi bertahun-tahun dan masalah struktural jadi untuk mengubah ini dibutuhkan kebijakan yang struktural artinya kebijakan yang sifatnya holistik,” ujar Febrio dalam konferensi pers lewat daring, Jumat pekan lalu (24/7).

Kendati demikian, Febrio bilang, upaya pemeritah untuk meningkatkan rasio pajak adalah dengan cara memtakan basis pajak berdasarkan data kepatuhan formal dan material wajib pajak. “Perluasan basis dengan menambah orang yang bayar pajak. Memperluas sektor usaha untuk membayar pajak,” ujar Febrio.

Di tahun ini, perluasan basis pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak setidaknya ada dua hal. Pertama, menambah basis pajak baru melalui perubahan fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya dan KPP Pratama. Kedua, pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Di sisi lain, Febrio mengatakan, pemerintah terus melihat lagi efektifitas insentif perpajakan untuk dunia usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dianggarkan sebesar Rp 123 triliun. Diharapkan dengan adanya stimulus ini, dunia usaha bisa cepat membaik dan memberikan pertumbuhan ekonomi.

Febrio mengungkapkan, tax ratio yang turun merupakan konsekuensi dari geliat pemerintah untuk menumbuhkan investasi di dalam negeri. Kebijakan perpajakan yang menjadi pemanis investasi, setali tiga uang menggerus penerimaan pajak.

Misalnya, penurunan pajak penghasilan (PPh) badan di tahun ini dari 25% menjadi 22%. Kebijakan diarahkan untuk membantu cashflow perusahaan sekaligus tarif pajak yang lebih kompetitif dibanding negara lain.

“Kita berkompetisi dengan negara berkembang lain. Nah, Vietnam misalnya, itu memberikan insentif perpajakan sangat agresif. Thailand dan Filipina juga sama makanya itu yang menjadi logika yang agak berkebalikan dengan tadi usaha untuk menaikkan basis pajak yang menaikkan tax ratio,” kata Febrio.

Namun, Febrio menegaskan, insentif perpajakan yang bertujuan untuk menarik investasi akan memberikan dampak positif terhadap ekonomi di kemudian hari. Diharapkan, investasi masuk, penyerapan tenaga kerja meningkat, dan konsumsi rumah tangga naik. Dus, siklus ekonomi itu akan menambah basis pajak.