Relaksasi Daftar Negatif Investasi Dinilai Belum Efektif

26 December 2018

CNN Indonesia | Rabu, 26/12/2018 07:08 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diberikan pemerintah dinilai belum efektif tanpa upaya pemulangan kembali modal yang keluar dari Indonesia.

Akibatnya, Ekonom Yanuar Rizky mengungkapkan defisit transaksi berjalan belum akan membaik. Ia mencontohkan relaksasi DNI di sektor jasa, seperti jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) asing.

Menurut dia, bisa saja keuntungan yang dihasilkan KAP asing dilarikan keluar dari RI, sehingga menambah masalah defisit pada neraca jasa. “Bila ada asing yang masuk untuk bikin kantor di sektor jasa, misalnya harus setor Rp10 miliar untuk modal. Tapi, setelah itu, mereka bebas membawa hasil keuntungan keluar, karena tidak ada yang mengatur,” ujarnya, mengutip Antara, kemarin.

Ia berharap pemerintah menyempurnakan relaksasi DNI tersebut. Salah satunya dengan menerbitkan peraturan guna menahan arus modal keluar dari RI. Dengan begitu, defisit neraca jasa tidak melebar.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira menilai relaksasi DNI untuk 25 bidang usaha yang dibuka sepenuhnya untuk asing dapat membuat pertumbuhan ekonomi semakin tidak inklusif dan mengganggu neraca pembayaran.

“Jika ada profit pun, akan ditransfer ke negara induknya. Ini yang membuat neraca pembayaran terus tertekan,” imbuh dia.

Neraca transaksi berjalan merupakan parameter fundamental ekonomi domestik yang merekam arus perdagangan barang dan jasa dari Indonesia ke mancanegara dan sebaliknya, serta keluar masuk arus devisa.

Saat ini, neraca transaksi berjalan mengalami pelebaran defisit karena tingginya defisit neraca perdagangan dan jasa, meski neraca pembayaran masih mengalami surplus.

Pemerintah sudah melakukan pekerjaan rumah untuk mengatasi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dengan menerbitkan sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS).

Sistem OSS ini menyederhanakan proses perizinan di satu tempat untuk mengundang minat pelaku usaha berinvestasi dalam industri berbasis ekspor maupun subtitusi impor.

Pemerintah ikut mewajibkan penggunaan bahan bakar berbasis sawit atau biodiesel (B20) untuk mengurangi impor migas terutama solar yang selama ini menjadi penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan.

Untuk mengurangi impor bahan konsumsi, pemerintah juga menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor pasal 22 terhadap 1.147 barang agar penggunaan barang dalam negeri meningkat.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid XVI pada pertengahan November 2018 yang isinya memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan (tax holiday), relaksasi DNI, dan meningkatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) khususnya dari hasil sumber daya alam.