RUU perpajakan akan turunkan PPh badan, ini kata pengamat pajak

05 September 2019

Kontan, Kamis, 05 September 2019 / 06:50 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) perpajakan. Salah satu hal yang ditunggu publik adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, yang menurut rencana akan diturunkan dari 25% menjadi 20% pada tahun 2021.

Sri Mulyani bilang menggunakan skema omnibus law dengan mengeluarkan UU terkait insentif perpajakan untuk mendorong perekonomian dan bisnis.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai omnibus law patut diapresiasi dan dapat dipahami. Tapi reformasi komprehensif jangan terhenti.

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo memandang keputusan dan pertimbangan pemerintah memilih skema omnibus law mengingat tantangan perekonomian yang dihadapi membutuhkan solusi yang cepat dan dapat langsung berdampak bagi dunia usaha.

Di saat bersamaan Indonesia menghadapi kendala berupa kompleksitas regulasi, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur perubahan UU dan aturan turunan yang tidak sederhana. Yustinus menilai yang harus dijamin dan dikawal adalah aturan turunan teknis yang mendukung agar dapat dituntaskan secara cepat, jelas, dan pasti.

Lebih lanjut Yustinus bilang dengan demikian pilihan pada skema omnibus law ini patut diapresiasi sebagai sebuah terobosan.

Namun demikian, pilihan menggunakan skema omnibus law tentu saja tetap harus diletakkan dalam konteks kedaruratan, kemendesakan, dan sikap cepat tanggap, dengan tetap memperhatikan visi besar dan segala turunannya untuk dapat dituntaskan.

“Terkait reformasi perpajakan, secara paralel tetap dilanjutkan dan dituntaskan, bahkan juga menyiapkan paket revisi UU Perpajakan yang komprehensif, termasuk agenda-agenda lain yang telah ditetapkan,” kata Yustinus dalam keterangan rilisnya, Rabu (4/9).

Kabarnya, poin-poin yang disampaikan Sri Mulyani terkait RUU yang akan segera disampaikan ke DPR cukup menjawab kebutuhan jangka pendek pelaku usaha. Diharapkan dapat menjadi solusi yang memiliki dampak signifikan pada perekonomian dan dunia usaha.

Yustinus mengatakan agar RUU ini dapat efektif  diharapkan tetap dilakukan dengar pendapat dengan publik melalui akademisi, praktisi, dan pelaku usaha.  Tujuannya agar diperoleh masukan yang lebih banyak dan menghindari ada hal-hal penting dan mendesak lainnya yang berpotensi tercecer.

Selain itu, CITA menganggap pemerintah perlu didorong untuk terus berkomitmen dan mengupayakan perbaikan, terutama mengidentifikasi dan menginventarisasi kebijakan, aturan, atau prosedur yang menghambat perekonomian dan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha, terutama pengusaha menengah-kecil.

Menurutnya ada area lain di luar RUU yang harus dibahas juga mencakup isu Pajak Daerah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP, Kepabeanan, dan prosedur-prosedur yang perlu disederhanakan.

Yustinus menambahkan Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah insentif pajak untuk Wajib Pajak (WP) non usahawan yang selama ini berpotensi terbebani pajak yang kurang proporsional.

Misalnya perlakuan pajak atas istri yang bekerja, tenaga pengajar dosen atau guru, pekerja bebas termasuk pelaku usaha berbasis aplikasi online, dan profesi lainnya.

“Pemerintah juga harus segera mencari sumber-sumber baru sebagai basis pajak untuk menambal risiko hilangnya potensi pajak akibat penurunan tarif PPh Badan,” kata Yustinus.

Dia bilang dengan keterbukaan informasi dan dukungan politik yang kuat, Ditjen Pajak diharapkan dapat lebih optimal menyisir potensi pajak baru, termasuk dengan penegakan hukum yang adil dan proporsional.

Sehingga menjamin keberlanjutan pendapatan negara dan pemungutan pajak yang semakin adil.