Sri Mulyani lagi mencari cara untuk menarik pajak dari Netflix

30 October 2019

Kontan, Rabu, 30 Oktober 2019 / 11:56 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan masih mengutak-atik cara untuk bisa mengejar pajak Netflix. Sebab, perusahaan penyedia jasa video on demand asal Amerika Serikat tersebut memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan.

Baru-baru ini kencang berembus kabar, Pemerintah Australia kewalahan dalam menagih pajak kepada Netflix. Mengutip The Australian Financial Review, raksasa streaming video itu hanya membayar pajak kurang dari 1% dari total laba pada 2018.

Padahal, di tahun tersebut Netflix meraup untung mulai US$ 600 juta hingga US$ 1 miliar. Sedang pajak yang mereka bayarkan hanya sekitar US$ 341.793 ata 0,06% saja.

“Konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT (badan usaha tetap) tapi aktivitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan,” ujar Sri Mulyani, Selasa (29/10).

“Oleh karena itu, mereka wajib untuk membayar pajak. Di Australia, di Singapura, mereka sudah menetapkan untuk mengutip pajak dari Netflix, bahkan di sana namanya Netflix Tax,” imbuh menteri keuangan.

Sri Mulyani menyebutkan, Kementerian Keuangan secara serius bakal memantau aktivitas Netflix di Tanah Air, meski hingga saat ini aturan mengenai perpajakan digital belum ada. “Tapi, kami akan cari cara untuk tetap mendapatkan hak perpajakan kita,” kata dia.

Pada pertengahan tahun, Sri Mulyani sempat menyatakan, bakal mulai menggodok aturan mengenai pajak digital. Penarikan pajak untuk perusahaan-perusahaan over the top (OTT) itu menjadi masalah lantaran skema perpajakan umum mengategorikan wajib pajak sebagai BUT.

Padahal, perusahaan digital telah mengeruk keuntungan yang begitu besar di Indonesia dengan masifnya pengguna jasa mereka. Sementara pemerintah belum mampu menarik pajak untuk perusahaan tersebut karena statusnya bukan BUT.

Oleh karena itulah, pada pertemuan G20 tingkat menteri pada 8-9 Juni 2019 lalu, negara-negara yang menjadi anggota kelompok ini tengah menggodok peraturan perpajakan yang bakal meredefinisikan BUT.

“Karena company-nya tidak ada di negara kita namun dia mendapatkan revenue yang efektif, sehingga tidak bisa diaplikasikan yang selama ini di dalam undang-undang dan perjanjian pajak internasional yaitu BUT, permanent establishment. Mereka tidak perlu BUT di sini namun mereka mendapatkan revenue yang cukup besar,” ungkap Sri Mulyani.