Sri Mulyani Ungkap Alasan Rasio Pajak RI Kalah dari Thailand

07 March 2024

NEWS – Arrijal Rachman, CNBC Indonesia

05 March 2024

CNBC Indonesia – Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya buka suara perihal alasan di balik rendahnya rasio pajak Indonesia dibanding negara-negara tetangga. Permasalahan rasio pajak ini kerap kali disinggung oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi calon presiden 2024.

Sri Mulyani menjelaskan, rasio pajak Indonesia yang saat ini masih di level 10,21% dan di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina dan Thailand yang di atas 16% disebabkan Indonesia memiliki kebijakan pajak yang khas, yakni tidak mengenakan pajak bagi masyarakat miskin.

“Ada beberapa sektor ekonomi yang tidak dipajaki, apakah atas nama kemiskinan, kesetaraan, penghasilan tidak kena pajak,” ucap Sri Mulyani di acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2024, Jakarta, Selasa (5/3/2024).

Sri Mulyani mengakui, porsi pembebasan pajak terhadap level masyarakat kelas bawah itu menjadi tinggi dibanding yang dikenakan pajak karena struktur pekerja di Indonesia masih didominasi oleh kalangan pekerja informal dan penerimaannya di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

“Indonesia sangat tinggi untuk kategori ini jika dibandingkan dengan yang lebih kaya negaranya seperti negara tetangga sekitar kita,” tegas Sri Mulyani.

Sebelumnya, dalam acara yang sama, Prabowo berjanji pada masa kepemimpinannya rasio pajak terhadap PDB akan naik dari yang saat ini di level 10% menjadi 16% seperti negara-negara tetangga. Namun, ia memastikan ini tidak dilakukan dengan menaikkan tarif pajak.

“Tetangga kita, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kamboja, sekitar 16-18% ada ruang untuk meningkatkan tax ratio,” ujarnya.

“Bukan berarti kita perlu menaikkan pajak, tapi dalam hal ini kita perlu memperluas basis perpajakan atau jumlah wajib pajak,” katanya.

Dia pun meyakini dengan tax ratio yang naik dari 10% ke 16% atau ada penambahan persentase kenaikan ke 6% itu, dapat memberi tambahan untuk penerimaan negara sebesar US$ 90 miliar.

“Maka kenaikan 6% dari US$1.500 miliar produk domestik bruto (PDB). Ini akan menjadi angka yang signifikan. Ini mencapai US$ 90 miliar,” kata dia.