STIMULUS FISKAL Insentif Pajak Super Tersengat Covid-19

29 December 2022

Tegar Arief
Rabu, 28/12/2022

Bisnis, JAKARTA — Momentum peluncuran insentif pajak super alias super tax deduction yang kurang tepat berimplikasi pada kurang maksimalnya stimulus tersebut dalam merangsang penyerapan tenaga kerja terutama di sektor padat karya.

Musababnya, insentif tersebut dirilis pemerintah bersamaan dengan hawar virus Corona yang mendorong pelaku usaha untuk melakukan efisiensi bisnis.

Ada dua fasilitas super tax deduction, yakni di bidang vokasi atau pelatihan kerja serta di bidang penelitian dan pengembangan atau litbang.

Bagi wajib pajak badan yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan.

Adapun, wajib pajak badan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto maksimal 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan.

Celakanya, sejauh ini pemanfaatan kedua insentif itu amat cekak yang bermuara pada terbatasnya penyerapan tenaga kerja. (Lihat infografik).

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam Laporan Belanja Perpajakan 2021, menuliskan implementasi super tax deduction vokasi yang berjalan selama 3 tahun terakhir berjalan kurang optimal.

Hal itu disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang membatasi pelaksanaan sosialisasi kepada pelaku usaha dan seretnya gerak roda ekonomi akibat hawar virus Corona.

Pun dengan super tax deduction litbang yang menghadapi kendala serupa dalam implementasi selama 2 tahun terakhir.

Dalam kaitan ini, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir, mengatakan pandemi memang menjadi kendala besar dalam pelaksanaan insentif pajak super ini.

Terlebih, sejak 2020 pemerintah telah aktif melakukan pembatasan mobilitas baik dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membatasi seluruh kegiatan bisnis.

“Untuk mencegah penyebaran Covid-19 diterapkan kebijakan PPKM sehingga praktik di industri juga tidak mungkin dilakukan,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (27/12).

Saat ini, pemerintah memang memiliki harapan yang cukup besar dalam kaitan pemanfaatan super tax deduction pada tahun depan, seiring dengan rencana untuk menghapus PPKM ataupun PSBB.

Akan tetapi, tantangan ekonomi pada 2023 tak kalah berat karena dihadapkan pada faktor internal maupun eksternal, yakni meningkatnya inflasi serta tren kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Eropa.

Dalam kaitan ini, Iskandar tetap optimistis ekonomi nasional akan tetap melaju pada jalur yang telah ditetapkan mengingat sejauh ini mayoritas indikator mencatatkan performa yang positif.

Sejalan dengan itu, peluang pebisnis untuk melakukan ekspansi pun makin terbuka sehingga pemanfaatan super tax deduction diyakini meningkat.

“Kebijakan ini sudah baik dan kendala utama hanya ada di Covid-19,” ujarnya.

LIKUIDITAS

Sementara itu, kalangan pelaku usaha memandang minimnya minat terhadap super tax deduction disebabkan karena terbatasnya likuiditas perusahaan akibat terpaan pandemi Covid-19, yang terjadi sesaat setelah insentif tersebut diterbitkan.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, mengatakan sejak pandemi Covid-19 pelaku bisnis banyak melakukan penyesuaian atau efisiensi.

Di antaranya pemangkasan jumlah pekerja dan penghentian sementara aktivitas produksi sejalan dengan kebijakan pemerintah yang membatasi mobilitas masyarakat.

Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab banyaknya pengusaha yang menunda atau membatalkan kerja sama dalam rangka mendapatkan insentif tersebut.

“Ada faktor internal dan ekseternal. Internal adalah ketersediaan dana investasi, dan eksternalnya keadaan ekonomi yang baru saja akan kembali normal,” kata Ajib.

Dia meyakini, tatkala kondisi ekonomi telah sepenuhnya normal maka minat terhadap super tax deduction akan meningkat menyusul banyaknya lini usaha yang mulai melakukan ekspansi.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan super tax deduction kurang mendapat antusias dari pelaku usaha.

Pertama peraturan itu dirilis ketika pandemi sedang berlangsung dan berdampak ke kinerja Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan.

Alhasil, banyak perusahaan merugi sehingga insentif tersebut tidak diperlukan karena ada di posisi pengurang penghasilan bruto.

Kedua pengusaha berfokus menjaga daya tahan dari pandemi, bukan penghematan PPh Badan sesuai manfaat dari penerapan super tax deduction.

Ketiga adalah kendala dari aspek pengawasan. “Perusahaan yang memanfaatkan insentif harus membuat laporan realisasi sehingga tax compliance cost meningkat,” ujarnya.

Sementara itu, berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2021 yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), super tax deduction dalam rangka meningkatkan peran industri dunia usaha dan dunia kerja (Iduka) belum dimanfaatkan secara optimal.

Hingga akhir tahun lalu, satuan kerja pendidikan telah bermitra dengan 1.687 Iduka dan telah melakukan coaching clinic super tax deduction kepada 464 Iduka. Akan tetapi hanya 38 yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Hal ini pun bermuara pada tidak maksimalnya penyerapan tenaga kerja di dunia usaha serta alokasi insentif yang mubazir.

Guna memaksimalkan penyerapan insentif, BPK merekomendasikan evaluasi dan desain ulang skema super tax deduction sehingga meningkatkan peran Iduka dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi.

Selain laporan BPK, rendahnya pemanfaatan super tax deduction juga dijelaskan pemerintah melalui Perpres No. 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2020—2024.

Dalam aturan tersebut, penyaluran insentif super tax deduction disebabkan oleh kurang maksimalnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo menyiapkan dua rencana aksi yang berorientasi pada target pertumbuhan industri, serta pemberian fasilitas yang lebih tepat sasaran.

Pertama menyusun rekomendasi kebijakan fiskal sektor industri dalam rangka meningkatkan populasi, daya saing, pertumbuhan, dan penguatan struktur industri dalam negeri.

Kedua menyusun insentif investasi di sektor teknologi untuk mendukung implementasi Making Indonesia 4.0.

Editor : Tegar Arief