Target Pajak Rp 1.485 T Akan Terlampaui, Ini Penopangnya

26 October 2022

Selasa, 25 Oktober 2022

Jakarta, Beritasatu.com– Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proyeksi penerimaan pajak 2022 berpotensi melampaui target dalam Perpres 98/2022 sebesar Rp 1.485,0 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan DJP masih memiliki waktu 2,5 bulan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Namun penerimaan pajak hingga akhir tahun 2022 tidak terlepas dari tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi ekspansif, implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) seperti program Pengungkapan Sukarela (PPPS), pajak fintech, aset kripto, dan perubahan tarif PPN serta basis yang rendah di tahun 2021.

“Saat ini kami terus bekerja semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan penerimaan hingga akhir tahun 2022,” ucapnya kepada Investor Daily, Selasa (25/10).

Ia menjelaskan bahwa capaian kinerja pajak hingga kuartal III 2022 (Januari-September) cukup positif. DJP telah mengantongi Rp 1.310,5 triliun atau telah mencapai 88,30% dari target.

Alhasil pemerintah semakin optimistis penerimaan pajak akan melampaui target 2022 sehingga akan mempengaruhi rasio pajak atau tax ratio. Sebagai informasi, tax ratio yakni perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) periode sama.

Outlook tax ratio 2022, sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan(Sri Mulyani) pada paparan nota keuangan dan RAPBN 2023 lalu yakni akan berada di angka 9,99%,” pungkasnya.

Lebih lanjut, terkait realisasi restitusi hingga September 2022 mencapai Rp 166,93 triliun atau mengalami kenaikan 3,84% (yoy).

Neil merinci restitusi per jenis pajak didominasi restitusi PPN Dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 128,84 triliun atau tumbuh 16,40% (yoy) dan restitusi dari PPh pasal 25/29 sebesar Rp 36,22 triliun mengalami kontraksi hingga 20,41% (yoy).

Di sisi lain, restitusi berdasarkan sumbernya, terdapat restitusi dipercepat Rp 69,88 triliun atau terpantau tumbuh 50,85% (yoy). “Restitusi dari upaya hukum tercatat Rp 23,47 triliun atau menurun 7,87% (yoy). Restitusi normal tercatat Rp 73,57 triliun atau turun 17,29% (yoy),” kata dia.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memproyeksi penerimaan pajak sampai akhir tahun dapat mencapai Rp 1.747 triliun. Proyeksi ini menyusul penerimaan pajak yang impresif hingga September sebesar Rp 1.310 triliun. “Sehingga diharapkan hingga akhir Desember 2022, penerimaan pajak dapat mencapai Rp 1.747 triliun. Jika proyeksi ini menjadi kenyataan, target di Perpres 98/2022 terlampaui,” ucapnya.

Adapun jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2022 mencapai Rp 4.919,9 triliun. Apabila data ini dianggap konstan selama 2022, PDB 2022 akan mencapai 4 dikali Rp 4.919,9 triliun dengan total Rp 19.679,60 triliun.

Prianto menjabarkan apabila menggunakan rumus tax ratio yakni jumlah penerimaan pajak dibagi PDB dan jika berdasarkan asumsi yang dipaparkannya, maka tahun ini dapat menghasilkan proyeksi tax ratio 2022 sebesar Rp 1.747 triliun yang dibagi Rp 19.679,60 triliun. Maka tax ratio tahun ini akan mencapai 8,88%.

Meski demikian, proyeksi rasio ini berbeda dari rasio perpajakan 2022 yang diramal Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenku sebesar 9,55% terhadap PDB. “Perbedaan tersebut sangat wajar karena tergantung asumsi yang digunakan untuk menghitung proyeksi penerimaan pajak dan PDB di 2022,” ucapnya.

Sementara itu merespons keluhan dunia usaha untuk mendapatkan stimulus sebagai imbas ketidakpastian global yang meningkat mulai resesi, melemahnya nilai tukar rupiah hingga suku bunga acuan naik Prianto menegaskan stimulus pajak belum diperlukan. Hal yang terpenting bagi pemerintah adalah menggali sektor penerimaan pajak di dalam negeri.

“Contohnya adalah dengan memperbanyak penunjukan pemungut PPh 22 dan PPN atas transaksi online. Transaksi online tersebut mencakup transaksi pemerintah dengan rekanan marketplace, transaksi business to consumer (B2C) dan consumer to consumer (C2C), termasuk transaksi yang dilakukan melalui game online,” kata dia.