Teropong Gelap Setoran Pajak

03 August 2022

Tegar Arief & Wibi Pangestu Pratama
Rabu, 03/08/2022

Bisnis, JAKARTA — Di tengah menjulangnya angka sasaran penerimaan pajak pada tahun ini, pandangan pemerintah terkaburkan oleh teropong gelap performa setoran negara pada semester kedua menyusul kentalnya sumbatan ekonomi.n

Tren positif yang berhasil ditorehkan otoritas pajak pada paruh pertama tahun ini pun diyakini tak akan terulang, meskipun secara historis penerimaan negara acap kali melesat pada semester kedua.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, berbagai dinamika perekonomian global berpotensi merambat ke dalam negeri sehingga berimbas pada seretnya setoran pajak.

“Kami memperkirakan sedikit menurun kekuatan pertumbuhannya,” kata Suryo, Selasa (2/8).

Dia menjelaskan, faktor utama yang menjadi kekhawatiran otoritas pajak adalah prospek harga komoditas yang mulai melandai.

Faktanya, komoditas menjadi pendongkrak penerimaan pajak sejak pertengahan tahun lalu hingga semester I/2022.

Munculnya kepanikan Ditjen Pajak perihal prospek penerimaan pada paruh kedua tahun ini memang cukup beralasan. Musababnya, target yang ditetapkan pemerintah terlampau tinggi.

Berdasarkan catatan Bisnis, target penerimaan pajak sepanjang tahun ketiga pandemi Covid-19 mencapai Rp1.608,1 triliun, sekaligus merupakan angka tertinggi dalam sejarah perpajakan Indonesia.

Adapun, hingga medio tahun ini realisasi pungutan pajak menyentuh Rp868,3 triliun atau lebih dari 50% dari outlook yang dicatatkan oleh otoritas fiskal.

Sementara itu, komoditas menjadi juru selamat penerimaan negara lantaran terkoneksi dengan beberapa jenis pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) yang disetorkan oleh wajib pajak badan.

Hal itu dipertegas dengan realisasi penerimaan PPh Migas yang memang mencatatkan kenaikan cukup tinggi, yakni mencapai Rp43 triliun, melesat hingga 92,9% pada periode Januari—Juni 2022 secara tahunan.

Pun dengan sektor pertambangan, yang mampu membukukan performa sangat akseleratif.

Pada paruh pertama tahun ini, setoran pajak dari pertambangan meroket hingga 286,8%, jauh di atas sektor lain. Kondisi inilah yang melahirkan candu penerimaan pajak pada komoditas.

“Kami terus mewaspadai pergerakan harga komoditas dari waktu ke waktu,” ujar Suryo.

Sejatinya, besarnya ketergantungan pada pajak komoditas tidaklah sehat. Sebab hal ini berisiko mempercepat penggerusan penerimaan. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan langkah antisipatif agar penerimaan pajak tetap optimal.

Apalagi, harga komoditas bersifat cyclical atau berlaku dalam periode tertentu. Artinya, tingginya harga komoditas bukan karena faktor struktural yang bertahan lama.

Dalam kaitan prospek penerimaan pajak, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa potensi perlambatan pada sisa tahun ini memang cukup besar.

KONSUMSI

Menurutnya, jebloknya harga komoditas bukan menjadi faktor tunggal dalam penggerusan penerimaan pajak. Konsumsi yang tecermin dalam setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pun rawan terlindas.

Fajry menambahkan, tingginya inflasi berisiko menekan daya beli masyarakat sehingga bermuara pada tersumbatnya kucuran negara yang bersumber dari PPN atau pajak atas konsumsi.

“Kalau subsidi energi dicabut, inflasi tinggi dan tantangannya adalah penerimaan PPN,” kata dia.

Sementara itu, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang berlaku per 1 April 2022 juga memengaruhi pola konsumsi masyarakat.

Sejalan dengan perubahan tarif yang termuat dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu, maka harga barang dan tarif jasa kian mahal. Kondisi ini kemudian menjadi penekan ganda pada daya beli masyarakat.

Selain itu, kata Fajry, pada semester II/2022 Bank Indonesia (BI) diproyeksikan menaikkan suku bunga acuan yang selama lebih dari setahun parkir di level bawah yakni 3,5%.

Pengetatan moneter ini diperlukan dalam rangka menjaga kendali inflasi. Apabila skenario ini terjadi, maka akan memengaruhi kredit usaha yang pada ujungnya menghambat ekspansi bisnis dan pergerakan ekonomi.

“Tentu, penerimaan pajak pada akhirnya juga dapat ikut terdampak,” kata Fajry.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha menyarankan pemerintah untuk terus mewaspadai berbagai gejolak global yang berpotensi mengaburkan arah pemulihan ekonomi nasional.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Mudah Indonesia (Hipmi) Anggawira menilai, pencapaian target bergantung sepenuhnya pada sejumlah faktor.

Di antaranya adalah stabilitas perekonomian nasional, hingga optimalisasi data dari wajib pajak. “Strateginya harus ekstensifikasi yang lebih luas apalagi sudah terhubung data-data perbankan jadi bisa dioptimalkan dari sisi itu,” ujarnya.

Angga menambahkan, integrasi dan olah data yang bersumber dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) menjadi faktor kunci yang perlu ditindaklanjuti pemerintah untuk menjaga laju penerimaan.

Editor : Tegar Arief