UPAYA MENGATROL RASIO PAJAK Tax Gap Wajib Dipersempit

05 August 2022

Tegar Arief
Jum’at, 05/08/2022

Bisnis, JAKARTA — Besarnya tax gap atau pajak yang tidak terpungut menjadi biang kerok rendahnya rasio pajak di Indonesia, kendati pada tahun ini outlook pendapatan negara mencapai angka tertinggi dalam sejarah.n

Otoritas fiskal mencatat, outlook penerimaan negara yang menjadi sumber penghitungan rasio pajak berada pada angka yang amat tinggi pada tahun ini.

Setoran pajak misalnya, yang tahun ini diestimasi mencapai Rp1.608,1 triliun, kemudian kepabeanan dan cukai di angka Rp316,8 triliun. Sehingga, total penerimaan perpajakan mencapai Rp1.924,9 triliun.

Adapun, setoran dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) diestimasi senilai Rp218,5 triliun.

Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan Rp17.897,3 triliun. Berkaca pada outlook penerimaan dan asumsi PDB tersebut, maka rasio pajak pada tahun ini berada pada posisi 11,97%.

Angka itu memang meningkat jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang hanya 9,11%. Namun, 11,97% masih di bawah rata-rata Asia Pasifik sebesar 19%.

Besarnya tax gap pun menjadi kambing hitam. Secara singkat, tax gap adalah selisih antara potensi penerimaan dengan realisasi setoran yang dipungut oleh pemerintah.

Kondisi ini pun disadari betul oleh otoritas fiskal, yang tengah berjibaku menyusun strategi dalam rangka mempersempit tax gap sehingga rasio pajak mampu beranjak.

“Kami lakukan melalui berbagai upaya reformasi. Pada prinsipnya untuk menutup gap rasio yang ada untuk mewujudkan ketahanan fiskal,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal kepada Bisnis, belum lama ini.

Bisnis mencatat, komunitas global dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mematok benchmark atau angka normal tax gap sebesar 3,6%.

Sementara itu, mengacu pada data Realisasi Perpajakan dan Tax Gap 2019, tax gap di Tanah Air mencapai 8,5% dengan kemampuan memungut pajak sebesar 9,76% terhadap PDB. Artinya, masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum terpungut.

Menanggapi hal ini, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan ada beberapa penyebab besarnya potensi penerimaan, terutama Pajak Penghasilan (PPh), yang tidak terpungut sehingga menjadi pengganjal akselerasi rasio pajak.

Pertama, adanya perbedaan antara kewajiban pajak yang dikenakan berdasarkan undang-undang pada tahun pajak tertentu, dan jumlah pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak secara sukarela dan tepat waktu dalam periode tersebut.

Kedua, adanya praktik pengelakan pajak atau tax evasion dan penghindaran pajak alias tax avoidance. Tax evasion terjadi ketika wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara ilegal dan melanggar peraturan.

Adapun, tax avoidance muncul karena wajib pajak dapat mengefisienkan biaya pajak dengan cara mencari celah peraturan perpajakan sehingga memberikan keuntungan atau tax loopholes.

“Tax avoidance itu legal, tetapi tidak sesuai dengan spirit pembuat kebijakan, sedangkan tax avoidance muncul karena ketidaksempurnaan peraturan pajak yang disusun,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (4/8).

Prianto memerinci, ada tiga jenis tax gap di Indonesia. Pertama, nonfiling gap, yaitu ketika wajib pajak tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sesuai batas waktu.

Kedua, underreporting gap, yakni wajib pajak kurang melaporkan penghasilan atau mencatat biaya pengurang penghasilan lebih besar. Ketiga, underpayment gap yang terjadi ketika wajib pajak tidak membayar semua utang pajak yang seharusnya dilaporkan.

Menurutnya, dalam kaitan mengatrol tax ratio, pemerintah wajib mempersempit tax gap, yakni dengan merumuskan peraturan yang mono semantik atau satu makna.

“Dengan demikian, potensi ambiguitas dan multiinterpretasi dapat diminimalkan,” ujarnya.

Tak bias dimungkiri, adanya fasilitas pengecualian juga menjadi faktor yang dominan dalam besarnya potensi penerimaan yang tidak terpungut.

Dalam kaitan ini, skema yang sering diumbar oleh negara ada pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

DAYA PUNGUT

Faktanya, daya pungut pemerintah atas PPN yang tecermin dalam Value Added Tax (VAT) gross collection ratio masih amat terbatas.

Berdasarkan penghitungan Bisnis, dengan mengacu pada outlook penerimaan PPN pada tahun ini di angka Rp638,99 triliun dan konsumsi rumah tangga tumbuh di kisaran 4,8%—5,3%, maka VAT gross collection ratio sekitar 65,70%—66,01%.

Angka tersebut diperoleh dengan menggunakan asumsi tarif PPN sepanjang tahun ini masih sebesar 10%. Adapun apabila menggunakan asumsi tarif PPN sepanjang 2022 sebesar 11%, maka VAT gross collection ratio 59,72%—60,01%.

Kedua asumsi ini digunakan mengingat perubahan tarif PPN dari 10% menjadi 11% diberlakukan pada 1 April 2022.

Sementara itu, pada tahun lalu realisasi VAT gross collection ratio tercatat di angka 59,65%. Artinya, pemerintah hanya berhasil memungut 59,65% dari total potensi penerimaan PPN yang pada tahun lalu mencapai Rp923 triliun.

Editor : Tegar Arief